Pertama, kekecewaan akan pergantian pelatih PSS jelas menjadi alasan utama dikeluarkannya catatan itu, dibarengi dengan reaksi keras di media sosial dan pemasangan poster.
"In Seto We Trust" jelas menunjukkan bagaimana suporter percaya penuh akan kemampuan lelaki asal Kalasan, Yogyakarta, itu untuk terus menakhodai tim Super Elang Jawa.
Apakah semua tuntutan itu belum dijalankan oleh PT PSS? Akademi, misalnya, sudah dibentuk dan tiga tim kelompok umur ikut berkompetisi di masing-masing kelompok usia. Ada hal-hal yang dirasakan kurang, wajar saja. Apalagi mengingat gagapnya PT PSS saat mengawali pijakan kakinya di Liga 1. Modal satu musim kompetisi yang bisa mencapai lima kali lipat dibanding saat Liga 2. Ditambah lagi tumpulnya divisi marketing yang hanya mampu menarik sedikit sponsor.
Apakah BCS tidak mengetahui kegagapan itu? Saya yakin mereka tahu. Bukankah mereka juga punya anggota yang turut di dalam manajemen?
Jadi, jika berbicara soal isi tuntutan, seperti pada penyelenggaraan pertandingan yang baik, bukankah anggota BCS sendiri duduk di panitia pelaksana?.
Tak hanya BCS, Slemania pun tentu tahu kondisi yang ada di tubuh PT PSS. Dan dengan segala kekurangannya, semusim kompetisi bisa terlewati dengan hasil membanggakan, tentu patut diberi apresiasi. Dalam ketertatihan itu, sosok Soekeno tak bisa dilupakan sebagai orang yang mau memberikan talangan dana sehingga roda organisasi dan tim bisa berjalan.
Memunculkan nama-nama yang dianggap baik, juga yang lainnya tidak baik (tidak berkompeten) tentu menimbulkan pertanyaan, "Kenapa sejauh itu suporter masuk ke ranah perusahaan? Apakah ada kepentingan politik untuk memaksakan kehendak dengan masuknya orang tertentu, sebaliknya juga mendepak mereka yang dinilai tidak layak?"
Investor
Ketiga, BCS juga menginginkan adanya investor baru yang masuk ke PSS. "Selain itu, kami juga mendesak secepatnya untuk mencari investor yang sesuai dengan masyarakat sepakbola Kabupten Sleman," tulis pengumuman BCS.