Salah satu jenis identitas yang dimiliki oleh manusia adalah identitas budaya. Menurut Stuart Hall (1992) identitas budaya adalah berbagai aspek dari identitas seseorang yang muncul dari "kepemilikan" orang tersebut terhadap perbedaan etnis, ras, bahasa, agama dan identitas kebangsaannya. Sementara Chris Barker (2000) menyatakan bahwa identitas budaya adalah gambaran makna yang terkait dengan nominasi diri hasil pemberian orang lain. Penjelasan Hall dan Barker tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang apa adanya (taken for granted), tapi hasil konstruksi sosial.
Ada dua cara pandang untuk mengkaji identitas budaya. Pertama, cara pandang kaum esensialis yang melihat identitas budaya sebagai wujud (being). Kedua, cara pandang non-esensialis yang melihat identitas budaya sebagai proses menjadi (become) yang berlangsung terus menerus (Hall, 1990). Kaum esensialis berasumsi bahwa identitas budaya merupakan hal yang stabil/ ajeg dan dan menyediakan kerangka acuan dan pemaknaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kaum non-esensialis berfikir sebaliknya, bahwa identitas budaya adalah sebuah persoalan "menjadi" bukan sekedar "wujud". Identitas budaya bersifat menyejarah, mengalami transformasi terus menerus; melanjutkan "permainan sejarah", budaya dan kekuasaan.
Pendapat Hall di atas sejalan juga dengan gagasan David Cavallaro (2004) dan Manuel Castells (2007) bahwa identitas memiliki material berupa sejarah, geografi, memori kolektif, khayalan pribadi dan aparatus kekuasaan. Oleh karena itu, identitas budaya memiliki keterbukaan untuk digeser dan diubah. Kestabilan dan keabadian identitas budaya hanyalah sekumpulan sementara yang dirancang untuk  mewujudkan makna ideologis, kepercayaan dan sistem nilai yang melekat di dalamnya.
Jadi, ketika berbicara identitas budaya, bukan pertanyaan "siapa kita" atau "dari mana kita berasal" yang selalu dicari, tapi pertanyaan "kita akan menjadi apa" dan "bagaimana kita direpresentasikan" serta "bagaimana kita merepresentasikan diri", adalah pertanyaan penting yang harus kita jawab. Mengapa? Karena kita tengah berada dalam arena kontestasi budaya global.
Menelisik Identitas Budaya Banyumas: Dulu dan Kini
Penelitian tentang identitas Budaya Banyumasan sudah banyak dilakukan. Berbagai artefak budaya sudah dieksplorasi; dari naskah kuno, kesusastraan, seni tradisional sampai produk budaya kontemporer seperti film, televisi, siaran radio dan lain-lain. Penelitian dilakukan oleh sejarahwan, budayawan dan pakar ilmu sosial lainnya. Sebagian penelitian tersebut ada yang menghasilkan temuan yang sama dan ada pula yang relatif berbeda.
Priyadi (2003), seorang sejarawan Banyumas yang konsisten meneliti berbagai babad sejarah Banyumas, dalam salah satu hasil penelitiannya menyebutkan bahwa budaya  Banyumas adalah budaya tanggung. Banyumas berada di titik silang budaya besar yakni Jawa-Sunda, namun kejawaan atau kesundaan orang Banyumas tidak mendalam. Percampuran dua budaya tersebut membentuk kebudayaan baru dan juga membentuk karakter masyarakat Banyumas yang khas. Inti karakter manusia Banyumas adalah cablaka (Priyadi, 2007). Karakter lainnya; orang Banyumas adalah pencari kejayaan dan keemasan, suka memberontak, sering berkonflik,  pekerja keras, egaliter, vulgar, afirmatif sekaligus kritis. Â
Sementara itu menurut Suhardi (2013) yang meneliti sejumlah karya sastrawan Ahmad Tohari, budaya Banyumasan tak sekedar dialek Banyumasan. Beberapa watak masyarakat Banyumas yang menjadi karakter orang Banyumas adalah kelugasan, egaliter dan semangat ksatria. Hal ini tergambar jelas dalam penggambaran tokoh-tokoh dalam karya sastra Ahmad Tohari seperti Senyum Karyamin dan Kaki Bukit Cibalak. Selain itu dalam beberapa ceritanya Tohari mencoba menunjukan khasanah bahasa Banyumas melalui pemberian nama-nama tokoh fiksinya, seperti Kenthus, Blokeng, Cablaka, Kanjat, Bambung dan Martacarub. Peneliti lain yang mengkaji karya-karya sastra Banyumasan adalah Trianton (2013) juga menemukan kelugasan dalam berbagai karya sastra sastrawan Banyumas sebagai ciri masyarakat Banyumas. Namun Trianton memberi catatan, bahwa identitas apapun termasuk konstruksi identitas masyarakat Banyumas akan terus bergerak selaras dengan perkembangan peradaban. Identitas Banyumas bisa mengalami pergeseran, perubahan, lentur atau suatu saat bisa luntur.
Selain karya sastra, berbagai pertunjukan seni khususnya tari-tarian Banyumasan juga mencerminkan identitas Banyumasan. Indriyanto (2001) yang meneliti perkembangan tarian Banyumasan menemukan bahwa  sebelum tahun 1970, tari-tarian di Banyumas masih bergaya keraton karena masih menganggap keraton sebagai model terbaik dalam pengembangan seni tari. Baru pada awal  tahun 70-an, setelah di wilayah Banyumas didirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), secara perlahan tarian Banyumas berkembang. Sampai saat ini banyak tarian Banyumasan yang mencerminkan identitas masyarakat Banyumas baik sebagai masyarakat agraris maupun penggambaran watak cablakanya, seperti tari gambyong Banyumasan, tari Baladewa, cipit-cipit, jalung mas, ebeg dan lain-lain.  Peneliti lainnya, yakni Meliono (2012) justru menemukan adanya keterkaitan antara perkembangan tarian Banyumasan dengan politik identitas. Politik identitas tersebut dapat terlihat dari upaya mengeksistensikan berbagai seni tradisional, salah satunya yang dilakukan oleh komunitas sanggar seni " Banyu Biru" di Desa Plana Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas. Komunitas ini sering menggelar tari Lengger Banyumasan, sebagai wujud perlawanan terhadap budaya pop yang sering dipertontonkan di televisi seperti fenomena boy band, K-Pop, tari modern (dance) dan lain-lain.
Pencarian identitas Banyumasan juga tampak dalam penelitian Adi (2012).  Adi yang melakukan kajian terhadap program acara di  Banyumas TV, menemukan bahwa orang-orang Banyumas yang digambarkan dalam berbagai acara di Banyumas TV cenderung tidak jauh berbeda dengan karakter yang selama ini dijelaskan dalam berbagai literatur sejarah. Masyarakat Banyumas digambarkan sebagai masyarakat terbuka, transparan, cair dan dinamis.