Ketika kita mendengar kata hukum banyak orang segera teringat pada undang-undang atau sidang pengadilan padahal hukum tidak selalu sebatas aturan resmi yang dibuat negara karena ada hukum lain yang tumbuh dan hidup di tengah masyarakat, hukum yang tidak tertulis namun dijalani bersama serta diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, hukum itu dikenal sebagai living law atau hukum yang hidup.
Hukum Tidak Hanya di Buku
Konsep ini diperkenalkan oleh Eugen Ehrlich seorang sosiolog hukum asal Austria yang menekankan bahwa hukum sejati bukan hanya kumpulan pasal yang tercatat dalam buku melainkan aturan yang benar-benar dijalankan dalam praktik kehidupan, sebab aturan yang tidak dipraktikkan masyarakat hanyalah teks kosong yang kehilangan makna.
Di Indonesia kita bisa melihat living law dalam tradisi gotong royong di kampung, musyawarah ketika ada perselisihan antarwarga, atau aturan adat yang menjaga tanah dan lingkungan, semua itu adalah wujud hukum yang hidup meski tidak pernah tertulis dalam undang-undang negara namun tetap mengikat dan dipatuhi.
Mengapa Penting untuk Keadilan
Hukum negara sering terlihat kaku karena meskipun tampak jelas di atas kertas ia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, sengketa tanah misalnya bisa memakan waktu bertahun-tahun di pengadilan sementara penyelesaian melalui musyawarah adat sering lebih cepat dan lebih diterima sehingga memberi rasa adil yang lebih nyata.
Inilah kelebihan living law yang lahir dari bawah dan lebih dekat dengan pengalaman masyarakat, ia fleksibel dan menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga menghadirkan keadilan yang membumi, meski demikian tidak semua tradisi otomatis adil karena ada aturan adat yang merugikan perempuan atau kelompok tertentu sehingga living law tetap perlu dipilah agar selaras dengan prinsip keadilan universal.
Indonesia dan Kekayaan Living Law
Indonesia memiliki kekayaan living law yang luar biasa, di Bali ada filosofi Tri Hita Karana yang menata hubungan manusia dengan alam, di Minangkabau ada adat matrilineal yang mengatur pewarisan harta, di Papua ada tanah ulayat yang dijaga bersama, semua ini membuktikan bahwa keadilan dapat lahir dari kearifan lokal yang masih dijalani masyarakat hingga kini dan jika sistem hukum nasional mampu merangkul nilai-nilai ini maka hukum tidak hanya hadir dari atas melainkan juga lahir dari bawah sehingga lebih manusiawi dan lebih mudah dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Menutup Renungan
Menelisik living law membuat kita sadar bahwa hukum sejatinya bukan sekadar pasal yang tertulis melainkan jalan untuk menghadirkan rasa adil yang tumbuh dari kehidupan nyata, dan ketika hukum terasa jauh dari rakyat sering kali itu karena kita terlalu sibuk menafsirkan teks undang-undang dan melupakan denyut kehidupan yang justru menjadi sumber keadilan, maka saat berbicara tentang keadilan jangan hanya menoleh pada buku hukum tetapi juga menengok pasar, sawah, balai desa, dan ruang-ruang interaksi masyarakat sebab di sanalah living law bekerja dan di sanalah keadilan menemukan wujud yang paling hidup.