Contoh lain datang dari Kampung Cibunut di Bandung, yang kini dikenal sebagai "Kampung Bebas Sampah". Warga di sana telah menerapkan sistem pemilahan sejak dari sumber, melarang penggunaan plastik sekali pakai, dan mendaur ulang hampir semua jenis limbah domestik. Kampung ini menjadi tempat belajar bagi banyak komunitas dari kota-kota lain yang ingin meniru keberhasilan serupa. Cibunut tak hanya bersih secara fisik, tetapi juga menunjukkan bahwa kesadaran kolektif mampu membangun peradaban baru yang sehat.
Di Bali, komunitas Sungai Watch yang digerakkan oleh warga muda turut membersihkan sungai dari sampah plastik. Mereka memasang alat penyaring di hilir sungai, melakukan edukasi ke sekolah-sekolah, dan memanfaatkan data pemetaan untuk menekan industri penghasil limbah. Pendekatan mereka memadukan teknologi dan aksi sosial, membuktikan bahwa warga bisa menjadi pionir inovasi dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Di Kota Depok juga telah muncul inisiatif untuk aliansi semua komunitas pegiat lingkungan di bawah satu wadah yang bernama Aliansi Keselarasan Alam (All Salam). Aliansi ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar memiliki kesadaran untuk memilah sampah organik dan non-organik dari dapurnya masing-masing. Edukasi ini diarahkan langsung kepada ibu rumah tangga, melalui bank sampah, atau unit usaha pengolahan sampah plastik. All Salam sendiri akan menjadi media partner yang akan memublikasikan kegiatan semua komunitas yang ada di Kota Depok.Â
Baca juga:
Paradoks Depok: Megapolitan dengan Akar Agraris yang Kuat
Dalam banyak kasus, yang mendorong gerakan ini bukan hanya keinginan untuk hidup bersih, tetapi juga kesadaran akan keadilan lingkungan. Warga menolak wilayah mereka dijadikan tempat pembuangan, baik secara fisik maupun simbolik. Mereka ingin menciptakan kampung yang sehat bagi anak cucu, tempat di mana udara bersih dan air jernih menjadi hak, bukan kemewahan. Dan mereka memilih bergerak, bukan menunggu.
Inilah yang membuat kemerdekaan lingkungan menjadi lebih dari sekadar jargon. Ia adalah praktik sehari-hari, bentuk perjuangan modern melawan ketidakadilan ekologis. Di tangan warga, perjuangan ini menjadi nyata, berkelanjutan, dan bermartabat.
Memerdekakan Lingkungan sebagai Tanggung Jawab Kolektif
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas krisis sampah? Jawabannya tidak tunggal. Industri, pemerintah, dan warga, semuanya memiliki peran. Namun, banyak warga merasa selama ini mereka yang menanggung dampaknya, sementara pelaku industri atau pengambil kebijakan justru lepas tangan. Hal ini menumbuhkan gerakan dari bawah yang menuntut bentuk tanggung jawab yang lebih adil dan partisipatif.
Kemerdekaan lingkungan tak bisa dicapai jika sistem pengelolaan sampah hanya mengandalkan warga tanpa dukungan struktural. Dibutuhkan sistem insentif yang jelas, fasilitas pengolahan yang memadai, serta kebijakan produsen yang bertanggung jawab atas limbah produknya. Konsep Extended Producer Responsibility (EPR) seharusnya menjadi keharusan, bukan sekadar wacana.