"Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045"Â dipilih pemerintah menjadi slogan perayaan Hari Anak Nasional 2025. Slogan ini menyimpan semangat besar dan visi jangka panjang yang mulia dan patriotis. Sayangnya, slogan ini sudah terdengar klise dan retoris karena tidak berpijak pada kenyataan. Slogan ini terasa hampa ketika jutaan anak Indonesia masih bertumbuh dalam kondisi gizi buruk, kekurangan asupan nutrisi penting, bahkan terjebak dalam lingkaran stunting kronis. Bagaimana mungkin kita bicara tentang generasi emas jika hari ini negara masih abai memberi makan yang layak kepada anak-anak?
Indonesia hari ini masih berkutat dengan persoalan stunting. Data Survei Kesehatan Indonesia 2024 menunjukkan prevalensi stunting nasional masih di kisaran 21,5 persen--jauh dari target 14 persen yang dicanangkan sebelumnya. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah peringatan dini tentang masa depan yang terancam sejak dini.
Penting untuk diketahui bahwa gizi buruk bukan  urusan dapur keluarga semata, melainkan cermin dari kegagalan struktural. Di negeri ini, akses terhadap pangan sehat masih menjadi hak istimewa. Anak-anak yang lahir dari keluarga miskin atau tinggal di wilayah terpencil sering kali tidak memiliki pilihan selain hidup dengan nasi dan garam, atau mi instan sebagai menu harian. Sementara itu, jargon tentang anak hebat dan negara kuat terus dikumandangkan dari podium-podium megah.
Ironi ini tidak bisa lagi ditoleransi. Pemenuhan gizi anak bukan soal kebaikan hati negara, tapi soal hak. Pasal 28B UUD 1945 menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak  dan  UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan  menegaskan bahwa pangan bergizi adalah hak yang harus dijamin negara. Namun dalam praktiknya, undang-undang itu lebih sering jadi dokumen mati daripada kompas kebijakan.
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program, dari pemberian makanan tambahan hingga intervensi Posyandu. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan, program-program ini belum menyasar kelompok paling rentan. Pendataan yang kacau, pendekatan top-down yang kaku, dan minimnya pelibatan masyarakat membuat banyak bantuan tak tepat sasaran. Bahkan banyak program hanya muncul saat ada kunjungan pejabat atau menjelang tahun politik.
Salah satu contoh paling aktual adalah Program Makan Bergizi Gratis yang menjadi andalan pemerintah sekarang. Secara ide, program ini sangat baik: memberi makan sehat dan gratis kepada anak-anak sekolah, terutama di jenjang dasar. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, program ini justru berpotensi menjadi ladang penyelewengan. Ancaman pengadaan fiktif, mark-up anggaran, atau makanan tak layak sudah mulai jadi kekhawatiran banyak pihak. Persoalan ini bermuara pada rendahnya kualitas makanan sehingga kerap muncul masalah, seperti keracunan yang sudah sering terjadi. Jangan sampai niat baik ini berubah jadi proyek politik yang menjauh dari esensi: memenuhi hak anak.
Persoalan lain yang tak kalah genting adalah minimnya transparansi dan partisipasi. Di banyak daerah, masyarakat tidak tahu siapa penyedia makanan, seperti apa menunya, dan bagaimana anggarannya dibelanjakan. Program yang seharusnya menjadi sarana pemenuhan hak malah menjelma menjadi arena korporatisasi pangan. UMKM lokal yang semestinya bisa berperan justru tersisih oleh pemain besar yang dekat dengan kekuasaan.
Jika Indonesia ingin mewujudkan generasi emas 2045, maka harus ada keberanian untuk meletakkan gizi anak sebagai fondasi utama pembangunan nasional. Kita tidak bisa terus membangun jalan tol sementara anak-anak kita tak punya jalan keluar dari kekurangan gizi. Tidak bisa terus membanggakan pertumbuhan ekonomi sementara pertumbuhan otak anak-anak kita terhambat karena kekurangan protein.
Solusinya bukan sekadar menambah anggaran, tapi mendesain ulang pendekatan. Program pangan sehat harus berbasis pada paradigma hak, bukan belas kasihan. Anak-anak bukan obyek bantuan, melainkan subjek hak yang harus dijamin oleh negara. Program harus terdesentralisasi dan kontekstual agar memberi ruang bagi sekolah, orang tua, dan komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam penyusunan menu, pengawasan mutu, dan evaluasi dampak.
Lebih dari itu, pemerintah harus berani menjadikan pemenuhan gizi anak sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Bukan hanya menghitung kilometer jalan yang dibangun, tapi juga menghitung berapa banyak anak yang terbebas dari stunting. Bukan hanya menepuk dada soal investasi asing, tapi juga menjamin semua anak Indonesia mendapatkan asupan protein, vitamin, dan mineral yang layak setiap hari.