Mobil listrik selama ini identik dengan penggunaan di lingkungan urban: jalanan datar, lalu lintas padat, dan jarak tempuh harian yang relatif pendek. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren kendaraan listrik mulai bergeser.
Beberapa pabrikan mobil listrik seperti BYD, Vinfast, atau Cherry telah merilis model SUV dan crossover listrik dengan fitur yang---setidaknya di atas kertas---mampu menyaingi performa kendaraan konvensional dalam medan yang lebih menantang.
Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah mobil listrik cukup tangguh untuk perjalanan lintas alam atau semi-offroad, yang selama ini menjadi ranah mobil berbahan bakar minyak (BBM) berpenggerak empat roda?
Ini adalah pertanyaan yang merefleksikan fantasi saya untuk mengadakan trip lintas alam bersama mobil listrik. Sudah tentu jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak.
Sebab dalam konteks uji medan ekstrem, pertanyaan itu bukan hanya soal spesifikasi teknis, tetapi juga tentang kesiapan infrastruktur, efisiensi energi dalam kondisi tidak ideal, dan faktor daya tahan kendaraan dalam jangka panjang.
Torsi dan Traksi: Kekuatan yang Tidak Bisa Diabaikan
Secara teknis, mobil listrik memiliki satu keunggulan yang sering diabaikan dalam diskusi umum: torsi instan. Mesin listrik mampu memberikan tenaga penuh sejak pedal gas diinjak, tanpa jeda putaran mesin seperti pada kendaraan konvensional. Dalam konteks medan tanjakan atau jalur berbatu yang membutuhkan tenaga spontan, hal ini menjadi poin penting.
Beberapa model EV-terutama SUV listrik--telah dilengkapi dengan sistem all-wheel drive (AWD) berbasis dua motor, satu di depan dan satu di belakang, yang mampu memberikan distribusi tenaga ke seluruh roda secara otomatis. Hal ini memberikan stabilitas dan kemampuan menanjak yang kompetitif jika dibandingkan dengan sistem 4WD tradisional.
Namun demikian, keunggulan ini umumnya berlaku pada jalur semi-offroad atau jalan desa berbatu ringan, bukan di medan lumpur dalam atau batu besar seperti yang biasa dihadapi oleh kendaraan off-road berat.