Oleh: Sulistyo Rini Putri
Isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Israel terhadap rakyat Palestina telah menjadi sorotan internasional selama puluhan tahun. Meskipun berbagai instrumen hukum internasional telah mengatur perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, pelanggaran terus terjadi tanpa respons hukum yang tegas. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan keadilan dari hukum HAM internasional, terutama ketika berhadapan dengan negara yang didukung oleh kekuatan politik global.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup, merdeka, dan aman. Selain itu, Konvensi Jenewa IV 1949 secara eksplisit melarang negara pendudukan untuk mengusir penduduk asli dan membangun pemukiman di wilayah yang diduduki. Namun, Israel secara aktif membangun pemukiman ilegal di Tepi Barat, menggusur warga Palestina dari rumahnya, serta memblokade Jalur Gaza yang berdampak pada krisis kemanusiaan.
PBB telah mengeluarkan berbagai resolusi yang mengecam tindakan Israel, namun implementasi sanksi atau intervensi hukum selalu terganjal oleh hak veto Amerika Serikat. Inilah yang memunculkan dilema besar: hukum HAM berlaku universal, tetapi penerapannya tidak netral. Ada kesan bahwa hukum hanya efektif terhadap negara lemah, tetapi lumpuh terhadap negara yang kuat atau memiliki sekutu berpengaruh.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga telah diminta untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Palestina. Namun hingga kini, proses tersebut berjalan sangat lambat dan tidak menghasilkan keadilan substantif bagi korban. Di sisi lain, dunia internasional cepat bereaksi terhadap pelanggaran HAM di negara-negara seperti Myanmar atau Rusia, tetapi tidak menunjukkan konsistensi yang sama untuk Palestina.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa hukum HAM internasional berada dalam tekanan kuat antara idealisme keadilan dan realitas politik global. Konflik Israel--Palestina menjadi cermin paling gamblang dari lemahnya keberpihakan komunitas internasional terhadap prinsip keadilan universal yang seharusnya ditegakkan tanpa pandang bulu.
Selama hukum internasional masih tunduk pada politik kekuasaan, maka perlindungan HAM akan tetap bersifat selektif. Maka, perjuangan rakyat Palestina bukan hanya tentang kemerdekaan politik, melainkan juga tentang menuntut konsistensi moral dan keberanian dunia dalam menegakkan hukum yang adil.
Refleksi: Di Mana Posisi Indonesia?
Indonesia secara historis dan konstitusional menolak segala bentuk penjajahan. Pernyataan tegas itu termuat dalam Pembukaan UUD 1945: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan...". Namun, dalam konteks penjajahan Israel atas Palestina, komitmen tersebut tampak lemah dalam praktiknya.
Pemerintah Indonesia sering kali hanya mengeluarkan pernyataan keprihatinan atau kecaman simbolik, tanpa diikuti langkah diplomatik yang kuat. Tidak ada tekanan diplomatik konkret, inisiatif regional, ataupun peran aktif yang bisa mendorong terciptanya solusi damai dan adil bagi rakyat Palestina.
Ada beberapa kemungkinan penyebab sikap pasif ini, seperti tekanan geopolitik, kehati-hatian diplomatik agar tidak bersinggungan dengan negara-negara besar, hingga fokus pemerintah terhadap isu domestik. Selain itu, Indonesia tetap memiliki ketergantungan terhadap kerja sama ekonomi dan politik internasional, yang membuat kebijakan luar negeri harus dijalankan secara hati-hati.
Padahal, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan sejarah perjuangan antikolonialisme, memiliki posisi strategis untuk menjadi pemimpin suara dunia ketiga dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Langkah konkret seperti mendorong ASEAN lebih bersuara, memfasilitasi dialog internasional, atau mengampanyekan boikot terhadap produk perusahaan yang mendukung pendudukan ilegal bisa menjadi pilihan.