Waktu kecil beberapa orang menganggap stoberi adalah buah mahal. Bentuknya yang lucu dan warnanya yang menggugah selera hanya bisa dirasa lewat iklan di televisi saja. Mungkin karena sroberi punya perjalanan yang panjang untuk sampai ke Indonesia. Dikisahkan bahwa stroberi pertama kali tumbuh di Eropa, kemudian di bawa ke Amerika dan akhirnya berkembang di Indonesia.  Seiring berkembangnya zaman, perekonomian masyarakat boleh dikatakan  Yah ... lumayan lah, untuk membeli sekotak stoberi di swalayan atau terminal bis dan tempat-tempat wisata.Â
Bentuk stoberi yang kelihatan keras dan manis dari luar namun ternyata gampang terkoyak bila tergesek sedikit saja, rasanya pun asam-asam manis, lebih banyak asamnya ketimbang manisnya. Begitulah ciri Generasi Stroberi yang menjelma di kehidupan anak-anak sekarang. Untuk lebih mendalami apa saja kekhasan generasi stroberi, ada baiknya kita mengelompokkannya :
Fixed Mindset
Generasi stroberi cenderung Fixed Mindset. Apakah itu ? Yaitu anak-anak yang pola pikirnya tetap. Mereka terobsesi mendapatkan nilai tinggi di sekolah tetapi tidak tahu dampak apa yang akan dibawanya dengan nilai tersebut. Menolak tantangan baru, tidak senang menerima kritik, dan bila ada orang yang lebih hebat darinya, dia menjadi sinis dan menganggap mereka adalah ancaman.
Cognitif Flexibility
Mereka cenderung lemah dalam Cognitif Flexibility, yaitu sebuah kemampuan untuk mempelajari hal yang baru atau asing dari yang pernah dipelajari sebelumnya. Merka tidak berani mengambil tantangan tersebut, cenderung cari aman. Mereka berpikir bahwa kegagalan itu adalah suatu yang memalukan.Â
Hilangnya Kecekatan
Generasi stoberi cenderung lemot dan malas. Jika di kelas mereka hadir tanpa membaca buku dan mudah lupa tentang materi pelajaran. Mobilitas tubuh berkurang karena mereka menganggap bahwa sesuatu bisa datang dengan sendirinya. Bingung memilih jurusan saat SMA, bingung pula memilih jurusan saat kuliah. Â Mereka tidak tahu apa dan siapa diri mereka sesungguhnya.Â
Sarjana Kertas
Mereka sekolah, bahkan sekolah di tingkat yang paling tinggi. Mereka mendapat didikan namun tak terdidik. Kenapa? Karena yang dikejar hanya gelar belaka. Mereka berpikir bahwa dengan nilai tinggi bisa membuka pintu hati perusahaan dengan sekali ketukan saja. Padahal yang dibutuhkan adalah sarjana yang skilled worker. Kalau masuk, sudah siap tempur!Â