Di tengah keterbukaan informasi yang tak lagi dibatasi masuk melalui kanal-kanal: internet, televisi, radio, media cetak, i-pad, dsb ke dalam ruang-ruang keluarga. Tak kalah menarik untuk dicermati adalah pencitraan perempuan sebagai iklan produk yang cenderung memposisikannya sangat kapitalistik. Taruhlah iklan parfum yang menampilkan seorang perempuan memangkas roknya menjadi mini sebagai diidentikkan memotong harga produk parfum tersebut.
Memang, globalisasi dengan cengkeraman kapitalisme di hampir seluruh sendi-sendi kehidupan telah banyak menelan korban dengan perempuan sebagai pihak yang paling dimanja (=dirugikan?). Berbagai kasus perceraian yang menimpa perempuan di kota-kota kecil banyak disinyalir karena faktor tuntutan ekonomi. Perempuan-nya menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan suami berselingkuh lagi.
Studi kesetaraan gender yang didengungkan oleh para feminis tak pelak menghadapi dilema dalam hal ini. Di satu sisi, mereka memperjuangkan bagaimana para perempuan mampu keluar dari tugasnya di dalam ruang privat. Tapi di sisi lain, ketika para perempuan mampu terlepas dari ruang privat dan aktif di ruang publik tak sedikit masalah baru justru bermunculan.
Pencitraan perempuan yang cenderung tidak positif telah mereduksi harkat dan martabatnya ke tingkatan paling rendah. Salah satu penyebabnya adalah bahasa seksis. Yakni, bahasa yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara atau tidak seimbang, di mana anggota kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak- haknya daripada anggota kelompok seks yang lain.
Contoh paling sederhana adalah nama belakang seorang perempuan yang telah menikah. Biasanya setelah nama diri, tidak sedikit yang menambahkan nama suami di belakangnya. Atau, penambahan nama ayah (bukan nama ibu?) di belakang nama seorang anak demi melanggengkan eksistensi keluarga.
Dalam bahasa Inggris tak jauh beda. Pria dewasa dalam bahasa Inggris hanya memiliki satu sapaan Mr. (Mister) meskipun pria itu sudah menikah atau belum. Sedangkan perempuan memiliki tiga pilihan Mss, Mrs, Ms (Miss, Misters, Mis). Ketika ia masih gadis disapa dengan Miss, ketika menikah menggunakan Mrs. Dan untuk mengaburkan (menikah atau feminis) dipakai Ms.
Patriarkhi. Sistem nilai di masyarakat inilah biang keladi akar permasalahannya. Diskriminasi bahasa yang bersifat patriakhal, salah satunya, mengakibatkan perempuan mengalami kondisi dilematis. Yakni, bagaimana bahasa memperlakukan perempuan, serta bagaimana mereka berbahasa.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi diskriminasi bahasa itu terjadi hampir di semua bahasa yang bersifat Patriakhal. Entah itu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa Perancis-pun telah dipergunakan kaum lelaki untuk menekan perempuan.
Seksisme, dalam bahasa Perancis ditunjukkan dengan dibedakannya feminin (betina) dan masculin (jantan). Dalam pemakaian kata benda ditambahkan kata Une (feminin), dan Un (masculin) di depannya. Sebagai contoh,
1. Masculin : Un piétonnier yang diterjemahkan pejalan kaki
Feminin : Une piétonière yang diterjemahkan perempuan pekerja seks
2. Masculin : Un Maitre yang diterjemahkan kepala sebuah institusi
Feminin : Une Maitresse yang diterjemahkan perempuan simpanan
3. Masculin : Un abbateur yang diterjemahkan penebang pohon (laki-laki)
Feminin : Une abatteuse yang diterjemahkan seorang pekerja seks
Dominasi laki-laki yang cenderung memiliki arti positif dalam ruang publik, berbanding terbalik manakala perempuan di ruang publik. Un homme publique diterjemahkan sebagai politisi, yang berarti memegang kendali wilayah publik. Mengatur dan memerintah. Tapi sebaliknya; Une femme publique diterjemahkan sebagai perempuan publik atau pekerja seks, yang berarti perempuan adalah yang dipakai (seksualitasnya) oleh publik (laki-laki).