Mohon tunggu...
Sujono Dw
Sujono Dw Mohon Tunggu... Peternak - peternak dan petani

SMA Negeri I Rembang

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gagas Hapus NJOP, PBB, dan BPHTB Demi Popularitas?

16 Februari 2015   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424093770247611658

[caption id="attachment_397417" align="aligncenter" width="600" caption="BPN/Tribunnews"][/caption]

Terobosan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan menghapus Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) suatu hal yang membingungkan. Menurut menteri, penghapusan PBB berlaku untuk rumah tinggal, rumah ibadah dan rumah sakit tetapi untuk properti luas tanah diatas 200 m2 dan untuk komersial tetap dikenakan. Sementara NJOP tidak ada guna, karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Yang agak logis, memang menghapus BPHTB. Apa sebenarnya yang mendasari hal ini, apakah benar demi rakyat, atau menteri meminjam rakyat untuk popularitas ?

Menghapus PBB dan BPHTB bukan hal mudah, karena menyangkut pendapatan asli daerah (PAD) yang bersandar pada undang-undang perpajakan. Seharusnya, yang justru dihapus adalah pungutan bukan pajak yang dilakukan BPN. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di BPN jauh lebih kecil dibanding dengan penerimaan pajak, sehingga kalau dihapus tidak mempengaruhi APBN/APBD, sebaliknya jika PBB dan BPHTB dihapus, daerah akan kehilangan PAD. Pemda pasti akan mencari sumber lain yang pada akhirnya menjadi beban baru di masyarakat. Sudah selayaknya di era pemerintahan sekarang, masyarakat tidak perlu membayar dalam pengurusan hak atas tanah dan bangunan karena tempat tinggal merupakan hak dasar warna negara. Ruang fiskal yang longgar, dapat dimanfaatkan untuk memberikan hak atas tanah dan bangunan secara gratis. Sebelum berdebat tentang ketiga hal ini, perlu tahu definisi masing-masing, apa itu NJOP, PBB dan BPHTB.

NJOP

Menurut UU No. 12 tahun 1985 jo. UU No.12 tahun 1994 tentang PBB pasal 1 angka 3, Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti. Menurut UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Pengertian NJOP dari kedua undang-undang sama persis. Apabila dicermati, pengertian NJOP seharusnya sama dengan harga pasar karena untuk menetapkan besaran NJOP, diperoleh dari transaksi jual beli secara wajar. Secara wajar dapat diartikan, bahwa, proses jual beli tidak dipengaruhi apapun, misalnya adanya paksaan, tekanan, keterpaksaan dan faktor lain yang dapat mempengarui harga jual.

Kenyataan di lapangan,,bahwa NJOP tidak sama dengan harga pasar,  memang sering terjadi. Dan ini yang dipersoalkan oleh Menteri ATR/Kepala BPN. Hal ini karena kurang cermat dalam menganalisis data harga transaksi atau harga pasar. Juga karena tidak akuratnya harga transaksi. Misalnya dalam akta jual beli (AJB) tanah dan bangunan, harga yang tercantum tidak sesuai dengan harga pasar. Penyebab lain, karena kebijakan pemerintah. Misalnya pemda menghendaki agar NJOP ditetapkan sesuai dengan kondisi kemampuan masyarakat. Walaupun harga pasar tinggi, bisa saja NJOP lebih rendah dari harga pasar, jika di suatu kawasan masyarakatnya banyak yang tidak mampu. Jika Menteri ATR/Kepala BPN ingin memperbaiki kualiats NJOP tidak perlu menghapus dan mengganti dengan nama lain tetapi cukup dengan memperbaiki kekurangannya. Misalnya harga yang tercantum pada akta jual beli harus sama dengan harga pasar. Karena harga tersebut menjadi pertimbangan untuk menyusun NJOP. Pencantuman harga pada AJB selama ini tidak ada intansi yang mengawasi jadi hanya kesepakatan antara penjual dan pembeli, sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya mencatat kesepakatan tersebut. Jadi, apapun pengganti NJOP, kalau tidak sesuai dengan harga pasar, akan sia-sia belaka.

Penyimpangan penggunaan NJOP juga terjadi dalam pembayaran BPHTB. Sesuai dengan pasal 87 UU PDRD ayat (1), dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP. Ayat (3), jika NPOP tidak diketahui, atau lebih rendah daripada NJOP, yang digunakan adalah NJOP. Harga yang tercantum pada AJB, kebanyakan menggunakan NJOP, atau sedikit diatas NJOP dengan alasan tidak diketahui harga pasar, atau memang sengaja untuk menghindari pajak yang lebih besar.  Akhirnya memanfaatkan ayat (3). Sungguh tidak wajar apabila harga pasar tidak diketahui. Ini sudah menyalahi, karena seharusnya sesuai dengan nilai perolehan. Pemerintah lemah dalam mengawasi pencantuman harga pada AJB

PBB

PBB diatur UU No. 12 tahun 1985 jo. UU No.12 tahun 1994. Sejak dikeluarkan UU PDRD, PBB sektor pedesaan dan perkotaan (P2) pengelolaaanya dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (pasal 77 s/d.84),  sedangkan PBB sektor pertambangan, perkebunan, perhutanan (P3) tetap dikelola pemerintah pusat dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian PBB sektor P2 berlaku UU PDRD. PBB dikenakan setiap tahun, menurut menteri, ini memberatkan masyarakat.

Sebenarnya pasal 77 ayat (4) dan ayat (5) UU PDRD, mengatur Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOP TKP). Misalnya di Jakarta, jika Pemda DKI Jakarta menginginkan rumah yang nilainya dua ratus juta rupiah bebas PBB maka pemda tinggal menetapkan NJOP TKP dua ratus juta rupiah maka terhadap rumah yang memiliki nilai dua ratus juta rupiah kebawah otomatis bebas PBB. Jadi kebijakan pembebasan PBB cukup menetapkan besaran NJOP TKP. Tentu tidak adil jika rumah yang bernilai tinggi/mewah tidak bayar pajak.

Usulan menteri tentang PBB rumah ibadah dan rumah sakit diatur pasal 77 ayat (3) UU PDRD. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB P2 adalah objek pajak yang: digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. Artinya pembebasan PBB terhadap rumah ibadah dan rumah sakit sudah diatur. Terhadap rumah sakit yang ternyata mencari keuntungan tetap dikenakan tetapi diberikan pengurangan lima puluh persen.

BPHTB.

BPHTB diatur pasal 85 s/d.93 UU PDRD, dikenakan pertama kali tahun 1998 dengan UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000. Sama dengan PBB sejak diundangkan UU PDRD, BPHTB menjadi pajak daerah. BPHTB, dikenakan hanya setiap terjadi peralihan hak atas tanah dan bangunan. Dengan kata lain setiap orang yang membeli/memperoleh tanah dan bangunan wajib membayar BPHTB. Artinya BPHTB sudah dikenakan hanya sekali ketika terjadi transaksi.

Penghapusan BPHTB memang masuk akal, namun pasal 87 ayat (4,5,6) UU PDRD mengatur  Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOP TKP), jika memberatkan cukup menaikkan NPOP TKP sehingga masyarakat kurang mampu bebas bayar BPHTB. Sebagai informasi Pemda DKI 2014 menetapkan NPOP TKP waris/hibah wasiat sebesar Rp. 350.000.000,- dan transaksi lainnya sebesar Rp. 80.000.000,-

Kesimpulan.

Semua yang digagas menteri ATR/Kepala BPN sudah diatur undang-undang,  sehingga dapat disimpulkan, pertama, tidak perlu menghapus NJOP, PBB dan BPHTB, cukup memperbaiki kekurangannya, terutama besaran NJOP. PBB dan BPHTB merupakan pajak pusat dan daerah yang diatur oleh undang-undang, jika dihapus berdampak terhadap penerimaan, terutama pemerintah daerah. Kedua, lebih baik menghapus semua bentuk pungutan bukan pajak di BPN, agar masyarakat tidak terbebani/gratiskan semua pembuatan sertifikat tanah. Sebagai gantinya, gunakan dana APBN dalam pengurusan kepemilikan hak. Ketiga, bentuk Badan Penilai Properti untuk menetapkan NJOP dan mengawasi pembayaran BPHTB dalam rangka mengendalikan harga tanah.

Penulis adalah Pengelola PBB 1989 s/d. 2011

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun