Rabu, 31 Januari 2018, jam baru menunjukkan pukul 02.30 WIT. Sudah dini hari, namun mata tidak dapat dipejamkan lagi. Setengah jam kemudian Kepala Cabang PT. Pelni (Persero) Timika Suaidi  mengabarkan mobil jemputan sudah siap di lobby hotel. Kami bertiga bersama Bayu dan Fandi dari Rumah Sakit Pelni, anak perusahaan PT. Pelni (Persero) yang melayani jasa kesehatan segera menuju lift dan cek out dari hotel. Kami harus menuju Pelabuhan Pomako, Timika di pagi buta.
Jarak Kota Timika dengan Pelabuhan Pomako sekitar 70 km dan dapat ditempuh dengan mobil sekitar 1,5 hingga 2 jam. Kebetulan jalanan sepi, kami bisa tiba di dekat pelabuhan sebelum waktu subuh. Kami tidak langsung ke pelabuhan, namun mencari masjid untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Kami mendapati masjid 2 km sebelum masuk area pelabuhan.
Dari Pelabuhan Pomako, nampak sorot lampu kapal motor (KM) Tatamailau telah sandar dan membunyikan seruling kapal. Tak lama adzan subuh  berkumandang. Setelah sholat subuh, kami minum kopi, makan pisang goreng dan bersahabat dengan pemilik warung yang asli Jawa Timur dan Makasar. Mereka berprofesi sebagai nelayan. Mereka pas tidak melaut, sehingga sedikit santai. Kami bahkan menyempatkan foto bareng sebelum menuju pelabuhan.
Satu setengah jam sudah KM. Tatamailu bersandar, namun karena hari masih gelap, para penumpang masih bertahan di atas kapal, mereka bertahan menunggu terang tanah. Jadwal sandar kapal yang hanya 2 jam, molor karena menunggu penumpang turun. Pelni harus sabar, mengalah dan untuk melayani warga Papua yang menjadi sebagian besar pelanggan setia Pelni.
Untuk masuk ke Pelabuhan Pomako perlu perjuangan tidak ringan. Parkir kendaraan yang tidak teratur menyulitkan kami memasuki pelabuhan. Tumpukan kontainer juga menghalangi akses penumpang. Pelabuhannya tidak terawat dan sangat kotor. Terminal penumpang yang terbuat dari papan sulit dipergunakan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan Pelni. Karena kondisi terminal tidak representatif, DCS Pelni tidak dapat dioperasikan di terminal penumpang.
Waktu sandar telah habis, namun kesibukan naik turun penumpang, bongkar muat barang masih terus berlangsung. Nakhoda KM. Tatamailau, Capt. Ridwan Wijayanato dengan sabar menyaksikan dari sisi anjungan bersama penulis mengamati pergerakan para porter yang dengan cekatan penuh keringat menurunkan dan menaikkan barang. Suara berisik di dermaga yang sempit membuat pelabuhan terasa riuh dan sumpek. Â
Seruling tiga sudah dibunyikan, para kuli mempercepat langkah, merangsek menaiki tangga kapal mengangkut barang. Para pedagang dari Timika banyak berjualan di Kota Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat. Mereka berkelompok dan mengandalkan kapal Pelni untuk mengangkut dagangannya. Tanpa kapal Pelni para pedagang tidak dapat mencari nafkah.Â
"Kami terima kasih kepada negara yang menyediakan kapal. Kami tidak bisa hidup tanpa kehadiran kapal Pelni," kata seorang pedagang kepada penulis.
Pukul 08.15 kapal baru bisa lepas tali, menyusuri sungai dan akhirnya melayari Laut Arafuru menuju Pelabuhan Agats, Kabupaten Asmat. Kami ke anjungan, tempat Nakhoda mengendalikan kapal. Selepas Timika kondisi laut tenang dan membuat nyaman berlayar. Kami seharusnya tiba di Pelabuhan Agats pukul 15.00, namun karena telat berangkat kami mulai mendekati Agats sekitar pukul 14.00.Â
Pasang surut air laut dan kondisi alur sungai menuju Pelabuhan Agats menjadi perhitungan Nakhoda sebelum memasuki pelabuhan sungai yang kerush, penuh lumpur. Karena kondisi air surut dan sungainya berlumpur, KM. Tatamailau harus sabar, berlabuh jangkar di muara.