Bocah bermain di kawasan kumuh di pinggir rel kereta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (17/12/2010). (KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN)"][/caption]
Rembulan, Sahara, Putri Duyung..... demikian tulisan di dinding tebing Sungai Banjir Kanal Barat terlihat ketika bangunan liar dibongkar, akankah rembulan terus bercahaya di lokasi prostitusi Bongkaran ini?
[caption id="attachment_352182" align="aligncenter" width="300" caption="bantaran kali Tanahabang (Foto :yos Asmat)"]

Masalah di perkotaan sangat kompleks, terutama di Jakarta sebagai ibu kota negara. Hal paling krusial bagi Jakarta adalah masalah perumahan sebagai basis utama tempat tinggal. Tingginya angka urbanisasi telah menimbulkan masalah sosial ekonomi yang memperburuk Jakarta sebagai ibu kota. Tumbuhnya rumah-rumah kumuh di bantaran rel dan bantaran sungai di dalam kota di DKI Jakarta yang sulit dicegah karena belum ditangani secara komprehensif, terpadu dengan melibatkan berbagai unsur terkait.
Bantaran rel KA merupakan salah satu kawasan yang ditumbuhi bangunan liar dantelah menimbulkan masalah sosial ekonomi, terutama menyangkut tempat tinggal. Warga pendatang yang tidak memiliki tempat tinggal memanfaatkan setiap ruang kosong di Jakarta untuk membangun rumah ala kadarnya sebagai tempat tinggal. Rel kereta api, bantaran sungai dan tanah-tanah kosong menjadi incaran para pendatang.Â
Mula-mula para pendatang membangun dengan bahan ala kadarnya, beratap seng atau asbes dan berdinding tripleks. Bukannya tidak punya uang membangun dengan bahan yang lebih baik, namun sebenarnya rasa was-was dibongkar paksa itu yang membuat mereka takut membangun lebih bagus. Mereka sadar tinggal pada lahan bukan miliknya dan membahayakan, namun apa mau dikata, mereka butuh tempat tinggal yang serbagratis.Â
Pemukim pinggir rel terus marak karena pemilik lahan pun tidak berani menegur, bahkan ada oknum-oknum yang memanfaatkan momen ini untuk mencari keuntungan pribadi, maka menjamurlah pemukiman di pinggir rel dan bantaran sungai dengan sporadis. Kini pemukim di pinggir rel telah mencapai ribuan. Mereka membahayakan perjalanan KA, membahyakan penumpang dan membahayakan diri mereka sendiri. Lalu mau diapakan mereka ini? siapa yang bertanggung jawab? Ditjen Perkeretaapian? PT. KAI atau Pemprov DKI atau Presiden?
Kekumuhan bantaran rel dan bantaran sungai menjadi masalah besar bagi Pemprov DKI sebagai pengelola ibu kota negara. Idealnya DKI Jakarta memilliki citra yang baik karena sebagai pusat kekuasaan, pusat pemerintahan dan pusat perekonomian di negeri ini. Setidaknya Jakarta dapat menunjukkan bantaran sungai yang bersih, rel kereta yang terawat, aman, tertib dan tertata baik.Â
Kondisi bangunan kumuh di sekitar rel saat ini menjadi masalah besar bagi PT. Kereta Api indonesia (Persero) - PT. KAI sebagai operator dan Pemprov DKI sebagai pemangku wilayah. Khusus bagi PT. KAI sebagai KA, bangunan di pinggi rel telah mencapai titik bahaya. Bangunan di pinggir rel ada yang berjarak 20 cm hingga 1 meter dari body kereta. Pemukim mendirikan bangunan dan melakukan kegiatan di pinggir rel tidak lagi mengindahkan keselamatan dirinya, apalagi keselamatan para penumpang. Meskipun di sepanjang rel KA dipasangi tanda larangan membangun, hal itu tidak dhiraukan.
Bangunan pinggir rel membahayakan bagi keselamatan perjalanan KA, pemukim dan membuat kumuh lingkungan. Kondisi ini telah mempengaruhi pelayanan PT. KAI. Gangguan persinyalan akibat pencurian komponen persinyalan kerap terjadi. Sampah membuat bau tidak sedap. Sehingga perjalanan KRL Jabodetabek sering mengalangi gangguan dan keterlambatan perjalanan.
Bantaran rel KA tidak sekedar sebagai pemukiman, namun telah berkembang menjadi arena kegiatan ekonomi. Karena banyaknya pemukim pinggir rel, maka muncul perkiosan tempat kos-kosan, bahkan ada pasar tumpah di rel KA di Stasiun Duri. Berkali kali PT. KAI menertibkan, mereka balik lagi, karena Pemko tidak menyediakan pasar tradisional sesuai kebutuhan mereka.Â
[caption id="attachment_352184" align="aligncenter" width="300" caption="penertiban bangunan liar tanahabang . (foto: Yos Asmat)"]

Semakin hari okupasi lahan perkeretaapian oleh warga makin bertambah. Salah satu Kodrat manusia adalah berkembang biak. Dalam pandangan orang Jawa ada istilah “banyak omah banyak bocah karena omah menghasilkan bocah. (banyak rumah banyak anak, karena dari rumah itu akan menghasilkan anak). Anak-anak bangsa yang terlahir dari kawasan pinggir rel juga akan tumbuh dewasa, yang pada akhirnya membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal. Maka semakin sumpek rel KA oleh rumah liar.
Saat ini bangunan rumah permanen, rumah semi permanen dan rumah petak non permanen berjumlah sekitar 6.000 pintu. Dari sebanyak itu sekitar 1.000 pintu merupakan rumah-rumah kontrakan yang disewakan warga sekitar, yang umumnya pendatang lama. Kontrakan di pinggir rel cukup murah dan terjangkau karyawan rendahan sehingga menjadi pilihan karena keterbatasan penghasilan.
Tarif sewa rumah per bulan bervariasi antara Rp 150.000,- hingga Rp 300.000,- tergantung fasilitas yang diberikan sang pemilik rumah. Makin tinggi fasilitas makin besar nilai kontrak. Karena kos-kosan di tempat ini terjangkau para pelayanan toko, OB , para sopir bajay, ojek sepeda dan berbagai rakyat akar rumput, maka pemukiman ini menjadi sangat heterogen.
Berbagai suku, ras dan agama bersatu dalam kompleks pemukiman ini. Sehingga makin menambah kompleksitas masalah di perkotaan. Karena heterogennya warga yang tinggal maka berbagai kebutuhan mendasar manusia terus berkembang. Salah satunya kebutuhan untuk beribadah kepada Sang pencipta, Tuhan Penguasa alam semesta, maka dibangunlah sarana ibadah. Mushola dan masjid di kawasan pemukiman liar tersebut.
Seringkali pendirian tempat ibadah diikuti dengan pembuatan fasilitas umum berupa WC atau Toilet. Masjid atau Mushola seringkali menjadi tameng untuk mendapat keuntungan, dari pendapatan pengelolaan WC. Kondisi ini telah menimbulkan masalah semakin kompleks pada pemukiman liar baik di tanah PT. KAI dan tanah-tanah kosong yang belum dipergunakan oleh pemilik lahan.
Sebagai anak bangsa kita harus peduli, tidak boleh membiarkan. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara harus menata lingkungan kumuh ini menjadi lingkungan yang tertata baik. Jangan kejar Adi Pura kalau belum bisa menata lingkungan kumuh, karena hampir semua wilayah Wali Kota di Jakarta, kecamatan dan Kelurahan ada lingkungan kumuh, baik di bantaran rel maupun bantaran sungai.
Pemukim yang sudah lama menempati lahan, sulit digusur dengan berbagai cara. Bahkan paska kebakaran pun meraka dalam seminggu sudah kembali mendirikan bangunan. Ini menunjukkan mereka sangat membutuhkan tempat tinggal untuk menopang hidupnya yang cuma sekali ini.Â
Mulai Sekarang Juga
Masyarakat miskin kota telah telah menjamur di pinggir rel KA dan bantaran sungai di Ibu kota. Pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat telah menawarkan solusi rumah susun (Rusun) di beberapa tempat di DKI. Baik Rumah susun sewa (Rusunawa) maupun Rusunami (Rumah susun hak milik). Tawaran pemukim di bantaran rel dan bantaran sungai untuk pindah ke Rusunawa dan Rusunami tidak ditanggapi serius oleh para pemukim. Buktinya Rusun yang dibangun pemerintah masih ada yang kosong, contohnya Rusun Marunda waktu itu.
Sepinya peminat Rusun bagi pemukim pinggir rel dan bantaran sungai ke Rusun karena budaya hidup di pinggir rel dan bantaran sungai yang sudah bertahun-tahun harus berubah. Mengubah kebiasaan manusia yang telah terbentuk tidaklah mudah. Masyarakat pinggir rel biasa dengan mudah akses ke mana pun di Ibu kota. Mereka dengan mudah memperoleh listrik, tinggal menghubungi oknum, bisa terang di rumahnya. Mereka tidak perlu bayar sewa tanah, karena PT. KAI tidak menarik sewa untuk lokasi itu. Tidak perlu iuran sampah, karena cukup membuang di sekitar rel KA.
Masyarakat pinggir rel tidak sekedar tinggal, namun pinggir rel juga dijadikan kawasan ekonomi, menjadi tempat usaha. Sehingga mereka sulit berpisah dengan tempat usahanya. Kalau mereka pindah dan harus tinggal di rumah susun, matilah usahanya. Mereka ingin tinggal yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Mereka umumnya pemulung yang tinggal dan cari nafkah di pinggir rel dan pinggir sungai.
Kondisi ini bila dibiarkan akan menimbulkan citra Jakarta sebagai ibu kota negara semakin buruk. Kita sebagai pemegang tampuk pimpinan di masing-masing bidang yang terkait harus bersatu padu menyatukan kekuatan untuk menolong saudara-saudara kita yang terlanjur basah bermukim di pinggir rel dan bantaran sungai untuk bangkit. Membangun Rusun mungkin menjadi solusi, karena itu harus sebagai solusi terbaik.
Plt. Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) harus melihat kekumuhan pinggir rel untuk menjadi target penataan kawasan. Ahok harus dapat menyulap kawasan pinggir rel menjadi daerah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tanah di pinggir rel yang sementara ini belum dipergunakan pengelola KA dan diokupasi warga harus diberesi.
Untuk mewujudkan hal itu Ahok tinggal memanggil Dinas terkait untuk bergabung dengan Ditjen Perkeretaapian dan PT. KAI untuk menata kawasan. Mereka ditugasi dengan batas waktu tertentu dan segera melaporkan hasilnya. Dengan menugaskan kepada Tim kecil untuk melakukan penertiban, penataan dan pengasawan maka dalam waktu tidak terlalu lama kawasan pinggir rel dapat disulap dari kawasan kumuh menjadi kawasan tertata rapih.
Rumah Susun Sewa (Rudetsunwa) Sebagai Solusi?Â
Konsep rumah deret susun sewa (Rudetsunwa) barangkali dapat dijadikan alternatif untuk mencari sosuli bagai para pemukim pinggi rel. Kawasan pinggir rel yang merupakan tanah negara untuk kepentingan perkeretaapian, merupakan aset negara dan dikuasakan kepada Kementerian Perhubungan dan PT. KAI untuk mengelolanya.
Lokasi lahan sangat strategis menyusuri rel yang umumnya menembus di dalam kota, sehingga sangat diminati pemukim liar. Sesuai ground Kaart, kondisi lahan juga tidak sama luasnya, bila diukur dari rel KA. Ada yang standar 6 meter, namun ada pula yang hingga 30 meter di sisi luar. Pada kantong-kantong yang cukup luas ini bisa dimanfaatkan untuk membangun Rudetsunwa. Kenapa rumah deret susun? Bukan rumah susun tinggi?
Rumah deret karena bangunanya horisontal mengikuti rel KA, tidak vertikal seperti Rusun pada umumnya. Kenapa harus susun, karena pemukim pinggir rel cukup banyak, sehingga perlu bertingkat, karena terbatasnya lahan. Susun atau ketinggian pun harus dibatasi, karena dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian adalarangan membangun gedung yang tinggi, di sekitar rel. Untuk memenuhi perundangan tersebut, maka bangunan dibatasi 5-7 lantai. Sedangkan sewa karena lahan PT. KAI milik negara, sehingga setiap pemanfaatan harus ada perjanjian dan sewa.Â
Konsep Rudetsunwa bisa menjadi alternatif bagi DKI, Ditjen Perkeretaapian, PT. KAI dan Menpera dalam menangani kemiskinan dan penyediaan perumahan bagi masyarakat. Sehingga kewajiban pemerintah dan hak rakyat terpenuhi. Rakyat bisa hidup tenang, kota menjadi tertata baik, kekumuhan lingkungan di pinggir rel bisa diatasi sehingga transportasi KA sebagai tulang punggung angkutan perkotaan mendapat perlakuan yang adil dari lingkungan.
Untuk mewujudkan konsep ini beberapa Kementerian, Pemprov DKI dan BUMN yang terkait harus duduk bersama sesegera mungkin untuk mewujudakan ide ini. Kalau ide ini hanya wacana, akan sulit mencari solusi. Kabiasaaan aparat pemerintah banyak rapat tiada aksi. Not Action Talk Only (NATO). Hal ini terbukti pada masa lalu dan penulis alami.
Penataan pinggir rel pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Stasiun Pasarsenen dalam konfrensi pers pasca peresmian Stasiun Tanjungpriuk. Presiden yang waktu itu naik Kereta khusus Tanjungpriuk-Pasarsenen, prihatin melihat kondisi pemukiman pinggir rel yang sangat kumuh. Beliau tanggap dan langsung mengumpulkan para Menteri terkait dan Gubernur DKI untuk menyelesaikan persoalan ini.
Para Menteri tidak kalah sigap, mereka mengunjungi obyek yang akan menjadi percontohan. Menteri Keuangan (Sri Mulyani), Menko Kesra (Abu Rizal Bakri, Menteri Perhubungan (Hatta Rajasa) dan, Gubernur DKI Ffauzi Bowo lengkap dengan para Deputy Kementerian langsung membuat konsep. Yang penulis ketahui, Kemenko Kesra telah menganggarkan Rp 1, 3 Triliun untuk memberesi masalah ini. Namun semua Nol aksi alias NATO sehingga dana yang sudah dianggarkan hangus.Â
Program Pak SBY yang begitu bagus hilang ditelan waktu. Para menteri silih berganti dan para pembantunya kurang tangggap, kurang serius dalam menjalankan instruksi penting ini. Sejak digulirkan pada Juni tahun 2009, pada 2011 yang lalu penulis masih diundang rapat melulu di DKI. Yang dibahas dalam rapat Cuma Mou. Sekian tahun tidak selesai sampai sekarang, 2014, pemerintahan akan beragnti. Beruntung Ahok datang, sehingga program lama bisa diberesi.
Kita kubur kekurangan itu, mari kita benahi ulang kekurangan. Kita duduk bersama, panggil para ahli tata kota, Ditjen Perkeretaapian, PT. KAI , Deputy Kementerian. Ada baiknya dibentuk Tim Khusus dari berbagai unsur profesi, tidak langsung ditangani para Menteri, Deputi yang sudah sangat sibuk mengurusi birokrasi. Kami yakin dengan mempercayakan kepada Tim Khusus proses penataan yang anggotanya para ahli di bidangnya masalah pemukimam pinggir rel bakal beres.
Pemerintah Pusat dan DKI tinggal mengarahkan, memandu, mengawasi, dan mendapat laporan. Pak SBY masih memiliki waktu 6 bulan untuk mengabdi kepada rakyat. Citra buruk pemerintahan harus segera diberesi dengan rencana aksi nyata pada program terpadu penanganan warga miskin, terutama di Ibu Kota yang sangat dekat dengan Istana Presiden. Keberhasilan program ini akan membantu Presiden memperbaiki citranya. Ayo kita kerja untuk bangsa, Untuk Indonesia. Semoga .***
Â
Jakarta, 11 Maret 2014
Penulis :
AKHMAD SUJADI
Penggiat penataan kawasan pinggir rel di DKI Jakarta
Aktif berkecimpung dengan masyarakat pinggir rel di Jabodetabek.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI