Dalam buku Man's Search For Meaning secara umum menjelaskan keinginan paling fundamental pada diri manusia, yakni memperoleh makna atas keberadaan dirinya. Viktor Frankl menyebutnya sebagai "keinginan pada makna".
Jika keinginan pada makna itu tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami "frustasi eksistensial" yang bisa mengarahkan individu pada suatu bentuk neurosis yang ditandai oleh pelarian demi kebebasan dan tanggung jawab.
Kamp Kosentrasi: Makna Penderitaan
Pada bab pertama buku ini diuraikan bagaimana situasi pengalaman dalam sebuah kamp konsentrasi. Dikatakan bahwa hidup dalam kamp konsentrasi adalah suatu perjuangan tanpa henti.
Dikatakan demikian, karena hampir pasti seluruh kehidupan di dalam kamp itu dikisahkan tentang pengorbanan, penderitaan dan kematian. Setiap orang dikendalikan oleh satu pikiran saja yakni pemeliharaan diri. Setiap orang selalu berusaha untuk menyelamatkan diri, ataupun kelompoknya.
Apa yang dirasakan dalam kamp konsentrasi itu dipandang sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Mereka tidak merasakan adanya kemungkinan untuk kembali dibebaskan dan boleh menikmati kehidupan dengan orang yang dicintai. Keinginan akan hidup yang baik rupanya lenyap ditengah situasi yang dialami. Pada intinya mereka mengambil sikap pasrah, dengan keadaan yang akan terjadi pada diri mereka.
Adapun fase-fase reaksi ketika seorang nara pidana hidup di dalam kamp antara lain:
Fase pertama. Setelah masuk kamp mereka merasa shock, kerinduan bagi mereka yang ditinggalkan, dan merasa jijik melihat keburukan, penderitaan dan rasa sakit yang mengelilingi dia.
Fase kedua, ditandai oleh sikap apatis. Para tahanan merasa terbiasa dengan situasi penderitaan yang dialami yang apa akhirnya mengalami kematian emosi. Di sini muncul rasa pesimisme dengan dengan sebuah perjuangan untuk mengubah kembali penderitaan yang dialami.
Penggambaran fase-fase ini menyatakan bagian dari afektivitas manusia di mana manusia sebagai subyek ditentukan oleh pengalaman sebagai objek yang dialami.