Sebagai manusia biasa, kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja: bangun pagi, kerja, pulang, makan, tidur... lalu diulang lagi. Hidup jadi seperti playlist Spotify yang hanya berisi satu lagu, tapi kita dipaksa repeat tanpa tombol skip. Bahkan kalau ada jeda, paling-paling cuma ganti latar tempat, dari meja kantor ke sofa rumah, tapi tetap memandangi layar, baik layar laptop, layar ponsel, atau layar televisi yang setia memutarkan berita sama setiap malamnya. Kadang kita sampai lupa, apa sebenarnya yang sedang kita kejar. Atau mungkin, kita cuma sudah terlalu lelah untuk sekadar bertanya.
Sementara itu, di luar sana ada sekelompok orang yang mengaku (atau diakui) sebagai "filsuf." Hidup mereka tampak seperti berada di dunia paralel. Saat kita sibuk memikirkan bagaimana cara mengatur gaji agar cukup sampai akhir bulan, mereka sibuk bertanya: "Apakah waktu itu nyata?" atau "Bagaimana kita bisa yakin bahwa kita bukan hanya karakter dalam mimpi orang lain?" Pertanyaan-pertanyaan yang kalau diucapkan di grup WhatsApp keluarga, pasti akan dibalas dengan stiker "minum dulu, bang." Namun, entah kenapa, mereka tampak menikmati pergulatan itu. Mereka duduk di kafe, menatap jauh keluar jendela, menyeruput kopi hitam yang dingin setengah, dan membicarakan hidup seolah sedang mengupas lapisan bawang, dari kulit luar sampai inti yang membuat mata kita berair.
Mereka kerap bicara dengan kata-kata berat: ontologi, epistemologi, atau istilah-istilah yang kalau diucapkan di warung kopi bisa bikin orang mengernyit lalu balik lagi nyeruput kopi hitamnya. Kadang juga muncul istilah yang lewat begitu saja di beranda media sosial kita, seperti eksistensialisme, sebuah konsep yang sulit dijelaskan tanpa terdengar seperti sedang membahas kenapa kucing lebih suka tidur di kardus daripada di kasur empuk yang kita belikan. Kita yang mendengar, mungkin akan berpikir: "Lah, apa gunanya ngomongin hal serumit itu kalau ujung-ujungnya hidup tetap susah?" Tapi justru di situ letaknya: bagi sebagian orang, membicarakan hal-hal rumit adalah cara mereka menghindari kepusingan sehari-hari. Bukannya memikirkan cicilan motor, mereka memilih memikirkan apakah realitas itu benar-benar ada.
Kalau dipikir-pikir, kita memang sering kali lupa bahwa hidup tidak harus selalu "masuk akal" dalam kerangka produktivitas. Para filsuf, entah disengaja atau tidak, memberi kita jeda untuk berhenti memikirkan "bagaimana cara bertahan," dan sesekali bertanya, "untuk apa kita bertahan?" Dalam dunia yang terobsesi pada efisiensi, kecepatan, dan hasil, pertanyaan itu seperti lampu merah di jalan yang sepi: tidak banyak gunanya untuk tujuan akhir, tapi tetap memaksa kita berhenti sejenak. Dan anehnya, berhenti itu kadang terasa lega.
Namun, saya paham, tidak semua orang punya kemewahan waktu dan tenaga untuk "merenung terlalu dalam." Sebagian besar dari kita hidup di level "praktis," di mana kopi bukanlah metafora kehidupan, tapi benar-benar minuman agar mata tetap melek saat deadline sudah mengetuk pintu. Kita membaca kutipan filsafat di Instagram bukan untuk mengubah cara pandang hidup, tapi untuk sekadar diposting ulang di story agar terlihat "penuh wawasan" di mata mantan. Kita menyukai kesan bijak, tapi jarang benar-benar mengunyah maknanya. Dan itu tidak salah. Hidup sudah cukup berat tanpa harus memikirkan apakah keberadaan kita hanyalah hasil kebetulan kosmik.
Meski begitu, saya mulai menyadari bahwa ada nilai yang bisa kita ambil dari para filsuf ini. Mereka, dengan segala kebiasaan rumitnya, mengajarkan kita untuk tidak sekadar menerima hidup apa adanya. Mereka mengajak kita menelisik, mengupas, dan sesekali mempertanyakan. Bukan untuk merusak apa yang sudah berjalan, tapi untuk memastikan bahwa kita tidak sedang hidup di "mode autopilot" tanpa pernah sadar bahwa kita sebenarnya punya pilihan. Bahkan pilihan sederhana, seperti memutuskan untuk duduk lima menit di teras dan menghirup udara pagi sebelum tenggelam dalam pekerjaan, bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap ritme hidup yang memburu.
Lucunya, kalau ngobrol santai dengan filsuf, mereka sering kali tidak seserius yang kita bayangkan. Di balik istilah-istilah rumit itu, banyak dari mereka yang juga pernah merasakan dilema sehari-hari: bingung memilih menu makan siang, kesal karena pesanan kopi datangnya lama, atau kecewa karena tim bola kesayangannya kalah di menit terakhir. Bedanya, mereka punya kebiasaan mengaitkan hal-hal sepele itu dengan prinsip besar kehidupan. Misalnya, saat kopi yang kita pesan tidak sesuai ekspektasi, mereka akan bilang, "Itu kan hakikat hidup, tidak semua yang kita inginkan akan datang sesuai rencana." Dan kita, yang tadinya mau protes ke barista, jadi hanya bisa mengangguk-angguk seperti mengerti, padahal sebenarnya hanya sudah terlalu malas berdebat.
Mungkin itulah yang membuat saya suka memandang filsafat bukan sebagai sesuatu yang "terlalu dalam untuk dijalani," tapi justru sebagai cara untuk membuat kedalaman itu terasa ringan. Hidup memang tidak selalu bisa dimengerti, tapi itu tidak berarti kita tidak boleh mencoba memahami sedikit bagiannya. Dan barangkali, memahami sedikit itu sudah cukup untuk membuat kita lebih sabar, atau setidaknya lebih bisa tertawa menghadapi absurditasnya. Seperti ketika kita sadar bahwa rutinitas bangun-kerja-pulang-tidur itu sebenarnya adalah salah satu bentuk "siklus tak terhindarkan" yang pernah dibicarakan para filsuf sejak ribuan tahun lalu, dan ternyata sampai sekarang belum ada yang berhasil memecahkannya.
Jadi, mungkin lain kali, saat kita duduk di kafe dan mendengar seseorang bicara tentang eksistensialisme, jangan buru-buru menganggapnya sebagai obrolan yang tidak relevan. Bisa jadi, itu justru undangan untuk mengalihkan pikiran kita sejenak dari laporan kerja, dari tumpukan cucian, atau dari daftar belanja bulanan. Bukan berarti kita harus ikut-ikutan menghafal istilah-istilah rumit, tapi siapa tahu, dari satu obrolan santai itu, kita pulang dengan satu pemahaman kecil: bahwa hidup, meski membingungkan, selalu punya cara untuk mengajarkan sesuatu, bahkan lewat secangkir kopi yang sudah keburu dingin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI