Polusi dan Efisiensi: Jangan Buat Sesak Napas Akibat Anggaran Minim
Oleh: Dr.-Ing. Suhendra S.T., M.Sc
Di tengah upaya efisiensi anggaran dan pengetatan APBN, isu lingkungan, khususnya polusi udara di kota-kota besar, seyogyanya tidak boleh dikesampingkan. Sementara pemerintah berfokus pada optimalisasi belanja negara, pertanyaannya adalah: apakah pengurangan anggaran akan berdampak pada minimnya perhatian terhadap kebijakan lingkungan yang bersih?
Ide tulisan ini terinspirasi dari fenomena di minggu ini banyak kota besar di Eropa diselimuti oleh kabut tebal akibat tingginya konsentrasi partikulat halus yang terperangkap di udara. Kondisi ini disebabkan oleh fenomena inversi suhu, di mana udara hangat berada di atas udara dingin, menghalangi pergerakan udara ke atas dan menyebabkan polutan tetap berada di lapisan bawah atmosfer. Sumber utama dari polutan ini berasal dari kendaraan bermotor, pembangkit listrik, industri, serta pemanas rumah tangga seperti perapian dan pemanas berbahan pelet kayu. Pada musim dingin, penggunaan perapian meningkat tajam, yang turut memperburuk tingkat polusi udara.
Selain itu, sumber polusi ternyata dapat bermigrasi dari satu kota ke kota lainnya. Sebagi contoh, angin dari timur yang bertiup dari Polandia diperkirakan membawa tambahan partikulat halus ke negara tetangganya, terutama Jerman. Hal ini membuat kualitas udara di kota-kota besar di Jerman memburuk dalam beberapa hari terakhir, terutama di bagian timur dan utara negara tersebut.
Kondisi yang terjadi di Eropa saat ini sebenarnya cerminan ringkihnya kota-kota besar dunia akibat paparan polusi udara. Polusi udara tersebut sebagian besar disebabkan oleh partikulat PM2,5, yaitu partikel halus yang berukuran 30 kali lebih kecil dari helai rambut manusia. Karena ukurannya yang halus, partikel tersebut dapat masuk ke dalam paru-paru. Dampak negatif terhadap kesehatan adalah menyebabkan berbagai penyakit pernapasan serta kelompok penyakit yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah (penyakit kardiovaskular).
Fenomena partikulat halus (PM2.5) menjadi perhatian global karena dampaknya yang signifikan terhadap kesehatan manusia. Konsentrasi PM2.5 yang tinggi di kota-kota ini membawa dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan kardiovaskular, dan bahkan penurunan harapan hidup. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan batas aman PM2.5 di udara adalah 5 g/m. Beberapa kota besar dunia terpapar jauh melampaui ambang batas yang dianggap aman.
Berdasarkan data terbaru, beberapa kota mencatat tingkat polusi yang sangat tinggi, menempatkan penduduknya pada risiko kesehatan yang signifikan. Kota yang sempat tercatat dengan tingkat PM2.5 tinggi antara lain Lahore, Pakistan (97,4 g/m), Hotan, China (94,3 g/m) dan Bhiwadi, India (92,7 g/m). Di Indonesia, beberapa kota juga masuk dalam daftar kota dengan tingkat polusi tinggi. Tangerang Selatan terdeteksi terpapar PM2.5 sebesar 81,3 g/m, sementara Bekasi berada dengan kadar PM2.5 62,6 g/m. Kota-kota tersebut mengalami polusi udara yang ekstrem akibat kombinasi faktor seperti emisi industri, pembakaran bahan bakar fosil, dan kondisi geografis yang memperburuk penumpukan polutan di udara. Selain itu, polusi di kota-kota seperti Bekasi dan Tangerang Selatan sebagian besar disebabkan oleh kemacetan lalu lintas, emisi dari industri, dan pembakaran sampah terbuka.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa polusi udara merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia. Pada kasus kota-kota di Jerman, data dari Deutsche Umwelthilfe menunjukkan bahwa pada tahun 2022, terdapat hampir 70.000 kematian di Jerman yang terkait dengan polusi udara akibat partikulat halus. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak buruk dari polusi udara terhadap kesehatan masyarakat. Data tersebut sejalan dengan kasus di Asia yang dipaparkan oleh tim penelitian Nanyang Technological University (NTU). Data NTU memberikan statistik bahwa antara rentang waktu 1980 hingga 2020 terjadi sekitar 98,1 juta kematian dini akibat polusi PM2.5.
Sementara itu, laporan dari European Environment Agency (Badan Lingkungan Uni Eropa, EEA) menyatakan bahwa pada tahun 2021, lebih dari 320.000 kematian di Uni Eropa dikaitkan dengan tiga polutan udara utama: partikulat halus (PM2.5), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2). Laporan tersebut menekankan bahwa mengurangi polusi udara hingga mencapai level yang direkomendasikan oleh WHO dapat mencegah sejumlah besar kematian terkait polusi udara di negara-negara anggota Uni Eropa.