Ketika saya bertanya tentang masyarakat suku ini pada orang-orang NTT, khususnya orang Timor, saya sering mendapatkan jawaban dengan dua cerita berikut ini. Cerita itu mau menggambarkan bagaimana kekhasan suku tersebut, jauh berbeda dengan masyarakat lain di NTT.
Kalau secara umum masyarakat NTT sudah mengalami akulturasi dengan budaya dari luar, tapi khusus masyarakat suku yang satu ini, mereka sangat teguh dengan ajaran asli dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun.
Pertama, ada cerita dari suku tersebut dalam merespon penduduknya yang kedapatan mencuri ayam. Katanya, kalau ada warga mereka yang kedapatan mencuri, alih-alih dikucilkan atau mendapat hukuman tertentu, orang yang mencuri tersebut jurtru diberi bantuan khusus.
Masyarakat yang lain akan memberikan barang atau apa saja yang sedang dicurinya. Misalnya, orang itu mencuri ayam. Maka masyarakat disekitarnya akan menyumbangkan ayam yang mereka miliki.
Sumbangan kepada pencuri seperti dilandasi pemikiran bahwa, orang mengambil tanpa pemberitahuan seperti itu atau mencuri, pasti memiliki sebabnya. Mungkin dia sedang membutuhkan barang tersebut, misalnya ayam, tapi karena sedang terdesak, akhirnya dia nekat mencuri.
Pemberian sumbangan ayam seperti itu akan menyadarkan dia, bahwa kalau butuh, dia bisa meminta dengan baik-baik. Masyarakat di sekitar pasti akan membantu.
Kedua, ada pula cerita lain yang masih berkaitan dengan masalah pencuri di atas. Konon masyarakat suku Boti sangat hati-hati dalam bertindak, khususnya berkaitan dengan tindakan jahat seperti kekerasan dan pencurian. Mereka menghindari perilaku negatif seperti itu karena dilandasi keyakinan, bahwa Tuhan yang mereka sembah, Uis Neno, akan marah dan memberikan sanki berupa wabah atau malapetaka tertentu.
Selain itu, sebagaimana cerita pertama di atas, kalau ada yang kedapatan mencuri, cara pembinaannya sangat unik. Tidak ada peristiwa main hakim sendiri seperti yang kita temukan atau mendengar dari tempat-tempat lain.
Tidak ada juga yang diproses dengan hukum positif. Semua masalah diselesaikan secara internal oleh para tokoh adat dengan mengedepankan prinsip damai tanpa melukai hati atau menimbulkan trauma yang begitu besar bagi pelaku dan korban.
Saking terkenalnya dengan perilaku baik tersebut, ada cerita kalau dulu, ada petugas pemerintah yang melakukan pendekatan masyarakat suku Boti. Pihak pemerintah menawarkan kepada mereka untuk memilih satu agama yang resmi diakui negara, sehingga bisa dibuatkan identitas resmi seperti KTP.