Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lukisan Sampah (Cerpen #2)

2 Januari 2015   09:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DUA

SIANG itu, enam bulan kemudian, terjadi kehebohan besar.  Ratusan truk sampah tidak lagi masuk ke tempat pembuangan akhir itu. Kabar burung yang beredar kawasan itu akan segera ditutup. Para pemulung, ribuan orang, di kawasan bergunung-berbukit sampah seluas beberapa kilometer persegi serupa pulau itu, resah.

Maka tindakan penolakan pun  dirancang. Para pemulung, anak-isteri, dan keluarga besar mereka dari berbagai daerah di tanah air berkumpul. Mereka menyatukan tekat, menyatukan nasib masa depan, siap mempertaruhkan hidup-mati.

-Bagaimana kalau kita serbu kota saja? Mulai tengah malam nanti! Bawa semua gerobak, becak, keranjang dan pengangkut lain? Kita bajak truk-truk besar untuk mengangkut semua pemulung. Kita sebar sampah di pusat kota. Di  balaikota, kantor polisi dan tentara, sampai ke kantor para wakil rakyat.. . . .!- seru lantang pak ketua dengan suara serak bergaya orator juru kampanye. Cukup meyakinkan. Sarlikin, itulah namanya. Jagoan baru yang tiba-tiba mencuat ketika nDembo masuk bui. -Inilah bentuk penolakan kita. Inilah bentuk pembalasan kita. Silahkan kalau ada yang berpendapat lain?-

Semua diam tidak mengerti. Ada yang hanya mengangguk-angguk. Hari itu tidak ada kegiatan sama sekali. Itu berarti penghidupan mereka terancam mati.

-Siapa yang tidak setuju acungkan jari?- pekik Sarlikin sekali lagi. Ia harus memastikan betul-betul tidak ada yang berpikiran lain. Harus yakin, tidak ada seorang pun yang akan berkhianat.

Seorang kakek renta tiba-tiba menyeruak kerumunan. Kala mudanya mungkin saja ia seorang intelek. Dahinya lebar, bibirnya tebal. Tangannya diacungkan tinggi-tinggi sambil merangsek maju.

-Aku bukan tidak setuju? Tapi bagaimana hitung-hitungan matematisnya, Pak Ketua? Apakah menyerbu kota lebih baik? Lebih bijak? Lebih bermartabat? Kenapa kita harus menyesali tempat pembuangan sampah ini ditutup? Mungkin saja kehidupan kita diganti Pemerintah dengan yang jauh lebih baik bila keluar dari tempat terkutuk ini? Tuntut saja imbalan yang layak! Aku lebih setuju tindakan damai!-

Sorak sorai menyambut usulan itu. Tapi Sarlikin menolak keras.

-Tidak ada kompromi. Kawasan ini adalah pulau kita, negara kita, tempat kita belajar berdemokrasi! Hanya di sini ada cara berdemokrasi yang paling canggih, kebebasan mutlak tanpa tawar-menawar. Maka sampai kapanpun, sampai dimanapun, dan sampai ajal mengganjal di kerongkongan, tidak mungkin kita lepaskan!- jawab Sarlikin sekenanya. Tidak penting apa argumen itu benar atau ngawur.

Kakek mundur, lalu ngeloyor pergi dari kerumunan itu.

-Yang jelas rakyat jelata butuh kata-kata penolakan. Itulah psikologi massa!- gumam si kakek, dengan pandangan lesu. Ia tahu alasan yang lebih tepat: diantara gubuk-gubuk kumuh itu terselip beberapa bangunan yang cukup kokoh untuk membuat bubuk ekstasi aneka jenis! Ya, siapa lagi presidennya kalau bukan Bang Sarlikin, mantan preman ibukota yang pilih mudik. Ia membawa keahlian langka, yaitu meracik bahan kimia menjadi ekstasi!

Dulu nDembo hanya pengedar ganja. Paling banter pakai pil koplo dan pil lain sejenisnya. Akibatnya ia dibui. Selanjutnya peran sebagai presiden para pemulung, mandor, centeng, dan  kasir aneka jual-beli maupun transaksi pacaran musnah pula. Ia diistirahatkan sampai waktu yang tidak jelas. Rencana Polisi, satu  per satu tokoh dan preman di kawasan gunung sampah bakal direunikan di penjara.

Lalu kawasan luas itu akan disulap jadi kompleks perumahan elit. Kawasan berfasilitas mewah, lapangan golf, hutan penghijauan, danau buatan, apartemen, hotel, dan megamall. Di situ juga segera dibangun industri dan areal perkantoran supermodern dan megah. Siapa yang bisa menghalangi?

LEBIH dari lima tahun nDembo tidak pernah pulang. Mungkin ia telah keluar bui, terus minggat ke kota lain. Tapi bisa saja ia sudah tamat di penjara. Bisa jadi tubuhnya yang gempal telah berubah jadi kerangka hidup. Lalu mati perlahan-lahan, membusuk, dan harus dikremasi agar tidak memunculkan wabah penyakit menular.

Nasib yang berbeda menyapa Sarlikin. Ia menjadi tokoh dari para tokoh dunia hitam. Tapi jangan salah, ia juga merekrut para disersi. Maka bisnis apapun yang dibuatnya aman-aman saja.

-Apalagi sekarang?- tanya Sarlikin dengan mata bulat, wajah kemerahan, karena pagi-sore diguyur minuman mahal beraroma alkohol. –Dunia sudah ada di  genggamanku. Tidak ada penghalang. Kalau saja aku berminat mencalonkan diri sebagai walikota, atau menjadi anggota dewan, peluang pasti terbuka lebar. Saatnya preman memimpin kota!-

Tampaknya memang tidak ada yang bisa menghentikan laju keinginannya. Maka benar saja, suatu hari yang cerah, berjas putih atas-bawah. Bertopi putih, dengan tanda jengkol logam di saku baju kanan.

-Mantan preman, mantan napi, mantan presiden semua preman di kawasan sampah! Ya, kini walikota! Apa boleh buat? Ini tuntutan sejarah!- begitu Sarlikin berpidato berapi-api saat perpisahannya dengan warga kawasan gunung sampah.

Tidak ditutupinya masa lalu, karena menurutnya, banyak pejabat dan figur publik yang masa lalunya baik-baik saja, lancar-lancar saja, ternyata kemudian terbongkar penuh borok.

JEMINO tak henti memikirkan anaknya. Mati tetaplah mati, harus dikubur, digerogoti mahluk tanah. Tinggal kenangan, tinggal bayangan. Tinggal tulang-belulang, kuku, gigi, rambut dan tengkorak; sebelum akhirnya merapuh musnah. Tapi apa yang ditinggalkan oleh nDembo? Apakah ia betul-betul telah mati? Jangan-jangan ia tidak diterima tanah, lalu muncul kembali serupa zombie dari tumpukan sampah?

Jemino, bapaknya nDembo, tidak henti berpikir. Juga tidak behenti khawatir. Ya, namanya juga bapak, mana anak semata wayang pula. Kebanggaan dan kecintaannya melebihi apapun!

Sudah lama ia tidak memiliki pendengar. Tidak untuk semua keluh-kesah, dan terutama untuk bercerita tentang anak tunggalnya yang jago melukis kala bocah.

Ia membayangkan suatu ketika kalau masih hidup nDembo akan muncul dengan kanvas besar. Lalu memamerkan keterampilannya melukis kehidupan di hadapan orang banyak. Menumpahkan semua cat dengan penuh perasaan dan penghayatan. Lalu setengah hari kemudian yang muncul di kanvas adalah sosok sang ayah. Jemino sedang mengangkut sampah! Tidak! Jangan! Lebih baik lukisan Jemino sedang mengayun stik golf di bekas areal pembuangan akhir sampah. Yah, itu lebih gagah, lebih mencitrakan keberhasilan. Ajaib, ’kan?

-Kini tidak ada lagi nDembo. Ia sudah mati, atau setidaknya minggat, seperti diberitakan di koran-koran. Tidak ada lagi Gentong. Perempuan itu pun pun sudah raib tanpa khabar berita. Aku menyesal tidak menyanggupi tawarannya, jadi pacar tetap, jadi kasir, ah ah! Betapa memabukkan kalau saja waktu itu aku mau memperturutkan nafsu. . .!-gumam Jemino lirih dengan mata berair keruh

Lelaki tua itu bawaannya sedih. Gunung sampah sudah lama dirombak jadi kawasan serba tertata, mewah, dan mahal. Penghuni lama digusur. Tidak ada lagi yang mampu bercerita kepada penghuni baru bagaimana dulu lokasi itu menghidupi mereka.

TAPI sebenarnyalah nDembo belum mati. Ia berhasil melarikan diri dari penjara. Untuk tidak kehilangan muka, para sipir membuat laporan bahwa nDembo telah mati karena penyakitnya. Kenyataannya nDembo lari dari satu pulau ke pulau lain. Terus berlari sebagai buron. Beruntung kemudian dapat ikut kapal barang sampai ke negara-negara yang jauh. Ia menjadi anak buah kapal karena keberaniannya dalam banyak perkelahian. Tapi lebih dari itu karena kemampuannya melukis.

-Bodoh! Apa yang kamu lukis, nak?- hardik Nakoda kapal suatu petang, dalam perjalanan kapal ke Eropa.

-Tumpukan sampah!- jawab nDembo sekenanya.

-Sampah? Dasar gila!-

-Ini masa kecil saya. Saya suka melukis sampah. . . .!-

-Sinting! Kenapa bukan yang lain. Laut, kapal, kota-kota, perempuan?-

-Itu terlalu gampang!-

-Apa?- Nakhoda melotot dengan wajah beringas kemerahan. Hampir saja telapak tangan lelaki itu menghajar dagu nDembo.

-Melukis sampah dengan segala kejorokannya, jijik, bau, dan penuh penyakit lebih sulit . . . .!- ujar nDembo coba membujuk.

-Hah? Benar? Kamu sanggup melukis apa saja yang lain?!-

Tidak ada kanvas, tidak ada cat minyak. Yang ada hanya taplak meja, sprei, dan gorden. Dicari semua yang putih polos, dan jadilah itu semua sebagai kanvas. Pewarnanya dicari cat sisa-sisa untuk dinding kapal.

Sejak itu dari pagi hingga malam nDembo berkutat dengan lukisan. Perempuan aneka bentuk, rupa, dan gaya dipindahkannya ke atas kanvas darurat. Seperti waktu bocah dulu. Coretannya spontan, tegas dan sadis. Luar biasa liar! Dengan seizin Nakhoda, kala kapal sandar dua-tiga perempuan lokal dibayar untuk menjadi model. Dari yang cantik langsing, hingga yang berwajah jelek dan bertubuh gembrot. Ndembo tahu belaka menggali sisi seksualitas pada setiap perempuan, tanpa harus jatuh pada pornografi!

(bersambung ke TIGA....)

-------------

Cerita sebelumnya:

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/31/lukisan-sampah-cerpen-1-713854.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/25/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-1-712736.html


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun