Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dompet Kosong

21 Januari 2021   22:39 Diperbarui: 21 Januari 2021   22:52 4170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kriisis rupiah di tanggal tua -theconversation.com

Sepulang dari Masjid Azam saya terduduk di ruang tengah. Salat Isya berjamaah di masjid selalu terasa menjadi ritual ibadah penuh renungan. Merenung tentang rahasia kegelapan, layaknya usia senja yang mesti segera berganti malam. Layar kehidupan harus ditutup, dan itu berarti alam kubur menanti.

Di kedalaman sana nanti situasinya mencekam dan gawat. Siapapun dibuat bingung, takjub, dan takut jadi satu. Sendirian saja. Suasananya gelap pekat, sunyi senyap, dingin membekukan, jantung berdebar kencang saat menunggu penuh was-was apa bakal terjadi sebagai malam pertama orang mati.

"Kenapa, Pak? Ada yang lupa. . . ?" tanya isteriku seperti rutin dilakukannya bila melihatku agak termenung-menung, kening berkerut-kerut dan bola mata bergerak ke mana-mana, lagaknya mengingat-ingat sesuatu yang tiba-tiba menghilang dari ingatan.

"Ada, Bu. Tadi lupa tidak membawa uang kotak amal, alias kencleng.. . . !" jawabku sekenanya.

"Bukan lupa itu namanya, Pak. Tapi krisis, dompet sudah kosong melompong, tanggal tua. uang pensiunan bulan baru masih beberapa hari lagi. . .!" ucap isteriku lugas dan tuntas. senyumnya mengembang jenaka, jadi tawa.

Aku tertulari tawa, kejenakaan yang rutin dan basi sebenarnya, tapi masih memunculkan kegelian yang menusuk-nusuk uluhati. "Dompet boleh kosong, Bu, tapi tabungan akhirat kita makin banyak. Dompet dan segala isi dunia ini toh hanya sarana untuk menggapai akhirat. Kalau sedikit saja kita lalai memanfaatkan untuk amal-ibadah maka habislah kita saat menghadapi pertanyaan kubur nanti. . . . !"

Isteri dengan perlahan menggandeng lenganku untuk berdiri, dan berjalan menuju meja makan. "Cermati betul hidangan akhir bulan, Pak. Tapi bukan untuk menyesali, melainkan jusru mensyukuri, untuk berucap Alhamdulillah. Apapun yang diberi Allah itu anugerah.. . . . . !"

Aku duduk di kursi menghadap meja. Diikuti isteriku. Di atas meja makan itu seperti biasa, tersedia beberapa piring berisi sayur, lauk, sambal, kerupuk, dan nasi. Dan kami mengucap bismillah, lalu makan dengan penuh syukur.

Agak lama menikmati kunyahan pelan dan aneka rasa yang tak terbayangkan nikmatnya. Nikmat, masih punya gigi dan indera pencecap maupun penciuman yang normal. Nikmat, masih diberi minat makan dari rezeki seorang pensiunan pegawai rendahan. Nikmat, terjauh dari aneka keluhan penyakit tua.

"Enak masakannya, Pak? Nasinya agak lembek, tapi sambalnya pasti pedas sekali. Urap daun papaya itu dari tetangga. Persediaan beras tinggal sedikit lagi. Bagus besok pagi kubikin bubur saja.. . . . "

"Bukankah besok pagi kita puasa? Senin-Kamis? Ibu lupa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun