Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Berkawan Banjir

29 Januari 2020   16:42 Diperbarui: 29 Januari 2020   21:00 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
banjir di satu kompleks perumahan di kota tangerang | Tribunnews.com

Aku terbiasa berkawan akrab dengan siapa saja, dengan pengemis, dengan mantan napi, dengan wanita nakal, bahkan dengan pengguna narkoba. Senang saja aku tanpa prasangka buruk apapun dari mereka. Aku mampu menjaga jarak, dan tidak terbujuk mengikuti gaya hidup mereka. Tapi sekali ini aku merasa sangat masygul. Sebab entah kenapa aku harus berkawan dengan banjir.

Sungai Citarum tak pernah mampu menampung air hujan dari sekujur cekungan Bandung, maka air melimpah ke mana-mana, menjadi banjir dan genangan rutin, yang setia menyapa para pelanggannya.

"Kamu salah, Bang, memilih rumah hanya dengan satu syarat: harga murah. Nah, inilah yang hasilnya.. . . . . !" ucap isteriku pada banjir pertama, tiga bulan setelah kami menempati rumah yang selesai direnovasi pemiliknya, dengan cat baru, suasana resik dan sangat nyaman itu.

"Ya, aku salah, Bu. Aku mengabaikan ungkapan para pedagang kelontong: ada harga ada rupa. Dulu kukira itu hanya omong-kosong agar dagangan mereka laku. . . .!" jawabku sekenanya. 

"Lalu sekarang bagaimana, Bang? Apa usaha Abang mengatasi banjir?" desak isteriku dengan nada menuntut. Wajahnya masam, senyum manisnya tertimbun rasa jengkel, menyesal, dan mungkin marah.

Aku bingung menghadapi situasi seperti itu. Tidak tahu aku harus melakukan apa. Bingung, panik. Pindah rumah jelas tak mungkin. Mau ke mana? Uang di tangan tidak ada. Menjual kembali rumah pun pasti harganya anjlok. Apalagi orang tahu lokasinya daerah banjir. Bisa-bisa bahkan, tidak ada peminat sama sekali.

"Bagaimana, Bang?"

"Begini saja. . . . .," ucapkumengulur jawab. Otakku berpikir keras untuk menemukan jawab.

Isteriku menunggu. Wajahnya datar, tak sabar.

"Kita harus mampu berkawan dengan banjir. Apa salahnya kita akrabi mereka? Dalam pekerjaan, aku mampu akrab dengan siapa saja. Kini saatnya kita akrab dengan lingkungan tempa tinggal. Siapa tahu kelak di kemudian hari kita dapat memetik berkahnya. Siapa tahu 'kan? Allah maha pemurah, dan kita hanya meminta berkah. . . .. .!"

Tidak lagi membantah, atau mengatakan sesuatu, isteriku justru menangis sesenggukan. Sedih nian isakan-isakan itu. Mungkin ia telah menemukan jawaban yang paling menyentuh hatinya.  Atau sebaliknya justru jawaban yang teramat absurd dan luar biasa dungu, yang membuatnya makin sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun