Berbahagialah orang-orang yang suka merantau, pergi dari kampung halaman karena tuntutan pekerjaan atau tugas, atau karena alasan lain (pendidikan, mengikuti suami/isteri, jurnalis/penulis, mengunjungi rfumah saudara, dan sebagainya). Dengan itu banyak pengalaman dan pengetahuan baru dapat diperoleh, sehingga memperkaya cara kita dalam menjalani kehidupan.
Arti dan pemahaman kita tentang kebhinnekaan pun bakal lebih luas melalui merantau. Salah satu yang daya tarik dalam merantau yaitu melihat langsung, merasakan, dan bahkan mengikuti tradisi Ramadan. Suatu tradisi yang dilakukan umat Islam pada satu wilayah yang berbeda dibandingkan dengan tradisi di daerah lain.
Meski tak banyak, saya memiliki pengalaman langsung mengikuti tradisi Ramadan pada beberapa wilayah yang pernah saya tempati dan datangi.
*
Tradisi, Wali
Bulan suci Ramadan memiliki keterkaitan langsung dengan umat Islam. Itu sebabnya tradisi Ramadan pun hanya dilakukan oleh umat Islam.
Namun, sejarah kedatangan para penyebar Agama Islam ke negeri ini berlangsung lama, berabad-abad, dan mereka berasal dari berbagai kawasan yang berbeda (Arab, India, dan China). Itu sebabnya tradisi yang muncul dan berkembang pun berbeda-beda.
Pengaruh yang cukup besar dilakukan oleh Wali Songo, dan khusus terkait dengan penyebaran islam dengan menggunakan budaya dan tradisi Jawa dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Mengubah keyakinan seseorang atau sekelompok orang tentu sangat tidak mudah. Jadi ketika zaman berubah dan ada orang yang secara langsung maupun tidak langsung tidak menghargai jerih payah para Wali, khususnya terhadap Sunan Kalijaga, memang patut disayangkan.
Salah satu peninggalan para Wali yaitu pendidikan di dalam pesantren. Ada beberapa pusat pesantren di Pulau Jawa, lalu berkembang ke kota-kola lain, kemudian merata ke banyak kota hingga ke luar pulau. Â
Di luar itu masyarakat muslim pun (biasanya berpusat di masjid-masjid besar pada ti tiap wilayah (kota dan desa) mengembangkan tradisi yang berbeda dengan tujuan sama, yaitu mempersiapkan pelaksanaan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan (mandi di pemandian umum, sungai, danau, pantai), membuat kegiatan yang bersifat bunyi-bunyian (menabuh beduk beramai-amai di masjid atau berkeliling di kawasan tertentu), dan juga membersihkan dan mengirim doa kepada arwah leluhur di makam.
Budaya Jawa sedikit banyak ikut mempengaruhi berbagai tradisi di luar Jawa, khususnya di daerah-daerah transmigran Jawa. Selain bahasa dan tradisi muslim yang bersuku Jawa berbaur dengan tradisi muslim dari berbagai daerah di mana para transmigran di tempatkan. Lepas dari berbagai efek negatif pelaksanaan program transmigrasi --diakui atau tidak- pengaruh terhadap kebinnekaan dan toleransi beragama salah satunya tumbuh dari sana.
Demikianlah, dalam Islam melekat tradisi, jasa banyak ulama hingga Islam berkembang seperti sekarang ini dengan kebhinnekaannya.
*
Nyadran, Drukdak
Tradisi sebelum Ramadan tiba pada dasarnya untuk meramaikan suasana persiapan. Ada yang pergi ke makam leluhur (orang tua, kakek-nekek, dan sanak-saudara). Tradisi nyadran mengingatkan setiap orang tempat kampung akhirat yang bakal segera didatangi. Mengingat berarti pula mempersiapkan diri untuk mati, berhati-hati terhadap godaan dunia sehingga melupakan akhirat, bertobat sesegera mungkin sebelum waktu itu tiba, dan terlebih juga menghormati-mengagungkan-mendoakan orang-orang yang sudah meninggal.
Dulu orang datang ke makam (meski beragama Islam) masih membawa kembang-menyan dan air, belakangan tidak banyak lagi yang seperti itu, diganti dengan membaca doa dan surat-surat tertentu untuk dikirimkan kepada arwah si mati.
Pawai beduk dilakukan pada hari terakhir sebelum Ramadan tiba. Aneka kendaraan disiapkan, baik kendaraan bermotor atau sekadar gerobak (untuk pewai bejalan kaki), untuk membawa bedug yang akan ditabuh berrfamai-ramai.
Di Karawang misalnya, suara ramai, meriah, dan marak, untuk mengingatkan bahwa Ramadan kembali datang. Bulan suci yang sangat agung dan dimulaikan umat Islam se jagad itu tak boleh berlalu begitu saja tanpa memanfaatkan fasilitas yang dibawanya.
Sekitar puluhan beduk diarak dalam pawai menjelang Ramadhan, Sabtu (4/5/2019). Pawai ini diikuti ribuan warga, mulai dari santri, ulama, hingga komunitas. Sumber 1
Seperti yang dilakukan di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, yang memiliki tradisi unik yaitu tradisi drugdad atau menabuh bedug yang merupakan peninggalan Wali Songo sebagai tanda dimulainya puasa.
Tradisi drugdag adalah tradisi menabuh bedug untuk memperingati atau menyambut bulan suci ramadhan yang sudah dilakukan oleh para wali dalam menyiarkan agama Islam di Cirebon, Jawa Barat. Â Sumber 2 Â
*
Pasang Lampu, Padusan
Di Gorontalo, ada tradisi Tumbilotohe. Yakni menyalakan lampu minyak, atau obor di depan rumah masing-masing. Tradisi ini, dikenal juga di Sulawesi Utara, terutama di daerah Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya.
Masyarakat Bolmong menyebutnya "Monuntul" atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira artinya "Memasang Obor." Malam pemasangan lampu atau obor ini biasanya dilakukan tiga hari terakhir di bulan ramadhan. Â (
Lalu ada tradisi beramai-ramai turun ke sungai, danau, atau pantai, kemudian mandi bersama. Mereka bermaksud membersihkan diri sebelum memasuki bulan suci.
Tradisi mandi bersama juga dilakukan di Jawa Tengah dengan nama padusan. Di Bolaang Mongodow ada tradisi mandi bersih. Di  Lampung dengan nama ngelop. Warga beramai-ramai ke laut pada sore hari menjelang masuknya Ramadhan. Sumber 3
Serupa nyadran di Jawa, ada tradisi Pungguan warga Kampung Jawa Tondano di Minahasa untuk menyambut bulan suci ramadhan. Tradisi ini digelar oleh masyarakat untuk mengenang para leluhur. Kampung Jawa Tondano sendiri didirikan oleh Kiai Modjo, panglima perang Pangeran Diponegoro yang diasingkan di Minahasa. Â Sumber 4
*
Demikian beberapa saja dari gambaran aneka tradisi jelang dan pada saat Ramadan dari beberapa daerah di tanah air.
Sebelum media massa merambah luas sampai ke pelosok daerah maka aneka tradisi itu menjai penyebar khabar mengenai Ramadan. Kini pengumuman melalui media lebih efektif, tetapi agaknya tradisi masih tetap dilakukan.
Mengetahui dan memahami, disertai upaya menenggang dan bertoleransi, harus terus dipupuk. Mudah-mudahan kebhinnekaan Indonesia (termasuk kebhinnekaan Islam) makin mempererat jalinan persaudaraan antar warga bangsa, bukan justru menjadi pemecah-belah. *** 9 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H