Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Pensiun, Harapanku Selama Ramadan 2019, dan Optimisme

6 Mei 2019   23:42 Diperbarui: 7 Mei 2019   00:13 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
memantau hilal untuk menetapkan awal ramadhan

Masa pensiun itu indah, sangat indah bahkan. Aku merasakannya, dan bersyukur siang dan malam. Kenapa begitu? Pertama, karena Alhamdulillah diberi umur panjang dan masih sehat. Ada beberapa teman sebelum pensiun ternyata jatah umur sudah habis. Ada yang belum lama pensiun segera sakit-sakitan, dan berakhir di kampung bisu alias pemakaman umum.

Semua akan berakhir di sana, entah kapan dan di mana persisnya. Karena itu jagalah hati. . . ehh, jagalah kesehatan. Sehat jasmani dan rohani tentu saja, termasuk hati. hari yang keruh, kotor, penuh penyakit, akan membuat kesehatan jiwa terganggu. Tampak luar sehat dan kuat, tetapi di dalam keropos, goyah, dan penyakitan.

Maka puasa menjadi salah satu solusi. Berpuasa tidak hanya menyehatkan secara fisik, terlebih juga rohani. Dan ketika Ramadhan tiba, harapanku yang pertama yaitu mampu melakukannya sebulan penuh dengan utuh, bersamaan dengan itu dapat memaksimalkan ibadah wajib maupun sunah, ikut memakmurkan masjid dengan tadarus dan mengikuti aneka kajian keislaman, serta dengan kemampuan yang ada sanggup memperbanyak amal saleh.

Bila harapan pertama itu terlaksana dengan baik, maka harapan berikutnya menunggu, yaitu mampu menggapai lailatul qodar. Pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir segenal amal-ibadah ditingkatkan, sehingga malam yang lebih pada daripada 1000 bulan itu terengkuh sempurna.

Ah ya, tapi harapan-harapan itu tiap tahun memang selalu fokus ke sana. seolah tidak berbeda tiap tahun. Namun, ada selalu yang dilupakan. Bahwa harapan apapun selalu tidak cukup, tidak memadai, bahkan bisa saja menjadi suatu kesia-siaan.

*

Harapan kedua, Puasa tahun ini harapanku sederhana, yaitu mampu mengurangi segenap keburukan yang masih melekat dalam diri ini. Hingga umur setua ini terasa masih banyak bolong-belang-kosong dan bahkan compang-camping dalam usaha mencapai sebutan Islam yang kafah.

Beruntunglah anak-anak yang sejak kecil sudh dikenalkan pada ajaran Islam seutuhnya. Terlebih untuk orangtua yang mampu mendisiplinkan anak dalam praktek keberagamaan sedemikian. Tapi keluargaku tidak termasuk dalam kategori itu. Maka terasa semuanya serba terlambat. Kebaikan dipelajari sedikit demi sedikit, dipraktekkan semula dengan keterpaksaan, tetapi masih ada yang tertinggal, dan malah banyak pula yang kemudian dilupakan.

Pemahaman yng terlambat muncul, bahwa keburukan dalam perilaku beragama akan menjadi semua pahala (sebesar apapun yang didapat) bakal musnah dalam pengadilan di akhirat kelak. Sebutan umum, yaitu orang yang bangkrut.

Orang yang merasa punya banyak bekal --terasa melimpah- dalam kehidupannya di dunia, tetapi ternyata bekal itu harus diserahkan kepada orang lain karena perilaku tak terpuji: ghibah, fitnah, bohong, dan segenap penyakit hati lain. Itu sesuatu yang tak tampak dampaknya, sesuatu yang tak terasa dilakukan, namun akibatnya fatal: menghapuskan semua amal-ibadah yang siang-malam ditumpuk dan susah-payah dilakukan sepanjang umur.

Bicara yang tak perlu, banyak bicara, menghabis-habiskan waktu untuk sesuatu yang tak perlu, banyak bersendau-gurau dan tertawa, melakukan hal-hal yang membuat lena-lalai-abai terhadap kewajiban, harus dihapus dalam perilaku keseharian. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, dan diiringi dengan penuh kesadaran.

Untuk kemudian diganti dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Kesadaran akan stok umur yang semakin menipis, jatah waktu yang kian terbatas, serta entah kapan serta di mana nanti apapun bisa terjadi sebagai penyebab umur harus berakhir, tidak boleh sekejap pun dilelapkan. Bahkan dalam tidur pun, kesadaran itu mesti ada, dan  dapat dikelola dengan lebih baik.

*

Harapan ketiga, mendapatkan Lailatul Qodar. Betapa tidak gampang, betapa banyak kendala yang menghadang, tetapi mudah-mudahan Allah mengizinkan malam istimewa itu tergapai dengan indah.

Maka lupakan yang lain, setidaknya jangan terlalu pedulikan hal-hal yang hanya sebagai pelengkap-penghias dan tambahan dari ujung Ramadhan, yaitu Idul Fitri. Proses yang baik dan lebih baik insya Allah akan bermuara pada kesempurnaan, yaitu menjadi fitri, menjadi manusia yang kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Dan itulah harapan keempat.

Kalau Ramadhan 2019 ini menjadi kesempatan terakhir maka tuntas sudah umur dijalani, ada senyum mengembang dan harapan cerah. Insya Allah bila nanti berpulang ke kampung akhirat semua bakal baik-baik saja. Bekal memadai, tidak bangkrut, dan memepeeroleh kemenangan. Siapa yang tidak berharap dari Ramadhan seperti itu?

Mari pupuk terus optimisme -dalam sabar dan syukur- dalam menjalani hidup yang tidak gampang ini. Mari menjalani Ramadhan 1440 Hijriah ini dengan jiwa-raga, dengan segenap hati, sesuatu tuntunan Rasulullah. Mudah-mudahan doa kita semua -muslimin/muslimah- diijabah.  Aamiin. *** 6 Mei 2019

Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun