[caption caption="fakultas kedokteran unpad"][/caption]Tidak setiap hari kita dapat bertemu dengan kata gratis. Terlebih di luar soal perdagangan dan jual-beli. Oleh karena itu ketika tiba-tiba ada kata gratis maka banyak mata terbelalak, cuping hidung kembang-kempis, telinga dibuka lebar, dan ditambah dengan dada berdebar-debar. Semua pingin tahu, pingin ‘ngeh’, pingin ‘ngarti’. Ada apa gerangan ini hingga mereka terpikir menggunakan kata gratis segala?
Maklumlah penasaran, sebab kata ‘gratis’ di sini cukup manis untuk di dengar dan dirasa. Karena itu kalaupun ada kata lain: keren abis, wow, dan heboh; sesungguhnya tak akan berkurang kadar ‘kemanisan’ kata gratis itu sendiri.
Sebuah Langkah, Ijazah
Gratis dimaknai sebagai tidak bayar, alias percuma, atau juga tidak dibebani dengan beban apa pun. Tidak ada pembayaran, tidak ada barter, dan seterunys. Itu gratis…tis…..tis. Meski kemudian soalnya tidak sesederhana dan segampang tampaknya. Namun untuk sebuah langkah maju tak salah kalau apresiasi pantas dilontarkan.
Ini terkait dengan kuliah gratis. Dan tidak main-main, di Fakultas Kedokteran... sekali lagi (seperti bunyi iklan) Fakultas Kedokteran, sebuah universitas ternama yaitu Universitas Padjadjaran atau Unpad. Waktunya mulai tahun 2016 ini. Nah, apa yang dapat kita komentari? Kita pilih bernada kritis, sinis, curiga, atau bangga.
Terlepas dari apapun komentar kita kebijakan itu keren abis, wow, heboh luar biasa. Gratis dalam pengertian FK Unpad ternyata karena dukungan 27 Kabupaten/Kota se Jawa Barat, ke wilayah mana nanti ketika para mahasiswa FK itu lulus harus bersedia ditempatkan. Bila mangkir (pasti banyak pula yang berpikiran licik seperti itu) maka ijazahnya tidak akan diserahkan.
Bocoran. Mengherankan
Kalau kita pernah kuliah di FK, setidaknya punya sanak-saudara atau kenalan dekat, pasti mendapatkan bocoran rahasia umum. Untuk duduk di bangku FK tidak cukup puluhan juta, tapi ratusan juta rupiah. Dan semakin terkenal perguruan tinggi dimana FK berada (swasta maupun negeri) makin melangit dan membubung tinggi biaya masuknya (entah apa saja namanya. Belum lagi biaya kuliahnya.
Demikian pun –mengherankannya- hampir setiap perguruan tinggi yang memiliki fakultas FK senantiasa menempati urutan pertama (atau setidaknya sepuluh besar) dalam hal minat calon mahasiswa untuk memasukinya. Pasti gambaran yang gilang-gemilang setelah lulus nanti menjadi penarik minat yang tak terbantahkan.
Menjadi dokter –apalagi dokter spesialis- itu berarti pekerjaan dengan uang mengalir deras bak pancuran sungai pada musim penghujan. Maka pendangan orang untuk seorang dokter adalah kaya, makmur, sejahtera dan kata-kata lain serupa itu. Karenanya manusiawi sekali ketika banyak orangtua yang ngebet agar anak-anaknya kuliah di FK.
Penyebaran, Terobosan
Sementara pada sisi lain ternyata jumlah dokter kita belum sebanding dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Soal lain, penyebaran dokter tidak merata, dan lebih banyak yang tinggal di perkotaan dan di rumah sakit terkenal. Sedangkan di pelosok daerah, di tempat-tempat terpencil, yang masih berperan justru dukun beranak, mantri kesehatan, dan pengobatan tradisional. Membandingkan kondisi kesehatan dengan jumlah dokternya di negeri tetangga yang lebih baik mestinya sudah dilakukan sejak dulu.
Tapi jalan keluar untuk mengatasi persoalan itu belum ditemukan, belum digagas, bahkan lebih jauh barangkali juga tidak berani untuk direalisasikan. Itu kenapa sebutan ‘membuat terobosan baru’ menjadi sangat pas untuk kebijakan FK Unpad. Dari titik itu sudah sepatutnya fakultas lain pada Unpad sendiri mengambil jalan yang sama. Bahkan lebih jauh mestinya menginspirasi FK perguruan tinggi lain se Indonesia.
Pertanyaan, Serbuan
Pasti ada saja dampak ikutannya dari sebuah kebijakan. Terkait dengan gratis kuliah di FK Unpad lalu bagaimanakah perasaan mahasiswa FK Unpad angkatan tahun 2015 dan angkatan sebelumnya? Apakah minat calon mahasiswa FK dari kalangan yang berduit akan menyusut? Apakah kualitas mahasiswa FK menjadi jauh lebih baik (selektivitas dan rivalitas lebih ketat dan transparan)? Apakah dedikasi para dosen tidak berubah?
Apakah buku-buku dan peralatan kuliah lain masih sama mahalnya? Lebih jauh, apakah penampilan para mahasiswa baru berubah drastis dan mengagetkan para pemilik rumah kost, pemilik rumah makan/kantin, serta petugas parkir di seputar fakultas itu?
Sekedar berterori dan berandai-andai tentu tidak salah. Waktu yang akan membuktikan nanti. Juga bagaimana hasilnya dari kata ‘gratis’ untuk FK Unpad itu. Tapi tentu semua kita berharap dokter kelak akan makin merata di tanah (terlebih jika tiap PT pada ibukota provinsi dapat mengikuti jejak FK Unpad dan bekerjasama dengan semua kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan).
Harapan lain pelayanan dan derajat kesehatan pada setiap daerah makin baik dan merata. Sementara itu kemungkinan serbuan dokter dari Negara tetangga dalam rangka memasuki Era Masyarakat Ekonomi Asean dapat diantisipasi dengan baik.
Penutup
Telah ada niat baik, tujuan baik, dan perbuatan baik yang dilakukan bangsa ini sejak lama. Namun semua itu tergilas oleh hal-hal yang sebaliknya. Maka ketika ada lokomotif dengan niat, proses, tujuan maupun hati nurani yang baik dapat dijalankan niscaya akan banyak gerbong kebaikan lain dapat ditarik menuju sebuah dunia baru yang lebih kompetitif. Bahkan lokomotif itu akan melahirkan banyak lokomotif lain, makin banyak, dan makin banyak.
Tentu saja FK Unpad dapat diibaratkan salah satu lokomotif itu. Semoga banyak gerbong yang dapat ditariknya. Semoga lokomotif bidang lain segera muncul. Maka ajakan : ayo kuliah di FK Unpad, berlaku bagi siapa saja yang berprestasi akademis tinggi dan punya semangat pengabdian kelak bila lulus. Dan semua itu berawal dari kata ‘gratis’. Sesungguhnyalah gratis itu keren abis, wow, heboh. . . . .!
Bandung, 29 Januari 2016
Sumber gambar: fakultas kedokteran unpad
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI