JAKARTA. Bonus demografi adalah semacam madu dan racun bagi Ibu Pertiwi, Indonesia. "Madu ditangan kananmu, racun ditangan kirimu, aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku", demikian Ibu Pertiwi harap-harap cemas.Â
Tentunya wajar Ibu Pertiwi harap-harap cemas, sebab bonus demografi layaknya suatu situasi di persimpangan jalan.
Jika bonus demografi berbelok kanan, maka akan menuju "the window of opportunity" (jendela kesempatan) yang menjadi madu harapan Ibu Pertiwi, tetapi jika berbelok kiri, maka akan menuju "the door of disaster" (pintu bencana) yang menjadi racun kecemasan Ibu Pertiwi.
Di sini terlihat bahwa jalan menuju "kesempatan" ditamsilkan sebagai sebuah jendela, sedang jalan menuju "bencana" ditamsilkan berupa pintu, sehingga secara logika melalui pintu lebih leluasa daripada melalui jendela.
Artinya, memang jalan menjadikan bonus demografi sebagai sebuah kesempatan lebih sukar daripada membiarkannya menjadi sebuah bencana..
Seperti diketahui bonus demografi merupakan potret penduduk usia kerja (PUK) ketika penduduk usia produktif (15 tahun sampai dengan 64 tahun) lebih banyak daripada penduduk usia tidak produktif (<15 tahun dan 65+ tahun), atau dengan rasio ketergantungan < 0,5.
Sedangkan, penduduk usia produktif terdiri atas Angkatan Kerja (AK) dan Bukan Angkatan Kerja (BAK).
Lalu, ketika AK merupakan juga sebagai penduduk yang bekerja (PYB) dan produktif, maka mereka menjadi jendela kesempatan (the window of opportunity) kemajuan perekonomian bangsa.
Tetapi apabila mereka menjadi kurang produktif, apalagi jika tidak produktif, yang ditandai oleh semakin tingginya angka pengangguran dan setengah pengangguran, maka mereka akan menjadi pintu bencana (the door of disaster) bangsa.
Sudah menjadi sunatullah, bahwa jalan menuju kebaikan selalu lebih sulit daripada jalan menuju kemungkaran.