Ramadhan tahun ini rasanya sama seperti tahun tahun sebelumnya, rasa gundah menyelimuti padahal menurut ustad ramadhan adalah bulan mulia banyak rahmat dan pahala disana.
Bagaimana tidak sudah satu tahun kondisi ekonomi belum juga pulih lantaran wabah covid 19. Bukan hanya saya semua orang didunia sedang merasakannya. Kesulitan ekonomi global ini berdampak pada nilai ibadah terlebih bulan ramadhan.
Sudah menjadi tradisi selepas puasa lebaran istilahnya saya harus mempersiapkan segala bahan sadranan seperti gula, teh dan aneka kue sebagai buah tangan saat silaturahim ke saudara sembari bermaafan.
Saya sebagai anak bungsu sungguh sangat terasa sebelum pandemi saja kami rela tidak membeli baju lebaran karena keterbatasan dana, bayangkan tahun ini angan saya berkecamuk tak lagi fokus pada hakekatnya bulan puasa.
Sebagai anak termuda sudah menjadi keharusan mengunjungi handai taulan saudara kakak yang lebih tua, dan itulah adab orang muda terhadap orang yang lebih tua.
Jika dihitung kurang lebih ada 25 keluarga yang kami, saya anggap sebagai orang tua tinggal hitung pakai rumus ekonomi maka sama dengan nut nut hehe
Yah mungkin berlebihan jika rasio disandingkan dengan kekuasaan Tuhan, bahwa tiada yang sia sia didunia ini.
Yang namanya manusia keluh kesah sudahlah menjadi hal yang lumrah, dan saya yakin bukan hanya saya yang merasakan kondisi ini.
Jaman masa kecil lebaran adalah hari spesial dimana ada makanan enak, apem, baro-baro dan aneka wafer serta minuman orson yang bisa dibilang tidak ada jika hari hari biasa.
Suka cita anak masa itu jika punya saudara banyak maka jumlah pecingan berbanding lurus otomatis isi kantong bejubel uang. Senyum gembira berbelanja petasan sebagai ungkapan lebahagiaan.
Kini masa itu berlalu dewasa kemudian apa yang dulu orang tua kita rasakan sekarang kita mersakan yang dulu orang tua kita rasakan. Yah memikirkan hari lebaran, uang recehan, sadranan dan pernak pernik penyambutan hari raya.
Oh inilah hidup ada masanya dan masa ada waktunya.