Tiap kota memiliki pusaka yang dikeramatkan. Keberadaannya dijaga dan diolesi bau wewangian, bahkan diberi tempat khusus sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Pada tanggal-tanggal tertentu, menurut hitungan baku, pusaka ini dikeluarkan untuk dijamasi (dibersihkan). Dan salah satu pusaka yang diperlakukan seperti itu adalah pusaka tombak kiai upas yang selalu dijamas tiap tanggal 10 Muharam.
Pusaka tombak kiai upas ini menjadi bagian penting bagi peradaban di Kabupaten Tulungagung. Tidak hanya dalam konteks sejarah, tapi juga politik, perjuangan melawan penjajah, dan lakon sosial.
Pusaka ini dibawa oleh Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat dari Mataram Yogyakarta. Ia sendiri merupakan cucu dari Hamengkubuwono II dari jalur Pangeran Notokoesoemo, menantu dari Hamengkubuwono II yang bertahta pada tahun 1792-1828. RMT Pringgodiningrat sendiri menjadi Bupati Ngrowo IV (nama sebelum Tulungagung) pada tahun 1824-1830.
Narasi Historis Pusaka Tombak Kiai Upas
Menurut keturunan Eyang Pringgo Koesoemo (keluarga yang dipasrahi menjaga pusaka tombak kiai upas) yakni Raden Mas Indronoto di dalam buku Mengunjungi Simbol-Simbol Sejarah Lokal mengatakan bahwa dulu setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, banyak golongan bangsawan yang lari menyelamatkan diri ke berbagai daerah, salah satunya Ki Ageng Wonoboyo bersama anaknya, Ki Ageng Mangir yang lari ke daerah dekat Rawa Pening, Ambarawa. Daerah ini dulunya masih masuk kekuasaan Mataram Yogyakarta.[1]
Suatu ketika, Ki Ageng Wonoboyo ingin mengadakan bersih desa dengan mengundang masyarakat sekitar untuk datang, berdoa, dan makan-makan. Ketika persiapan memasak di dapur, salah satu pemudi meminjam pisau milik Ki Ageng Wonoboyo dan diperbolehkan tapi dengan satu pantangan, pisau itu tidak boleh diletakkan di pangkuannya.
Namun saat istirahat, pemudi itu lalai soal pantangan tadi. Akhirnya dalam sekejap pisau itu lenyap dan ia pun dengan tiba-tiba menjadi hamil. Mengetahui itu, Ki Ageng Wonoboyo bergegas ke puncak Gunung Merapi untuk bertapa.
Saat waktunya melahirkan, pemudi itu terperanjat karena yang keluar dari rahimnya bukan seorang bayi mungil, melainkan seekor ular naga. Oleh pemudi itu, anaknya yang berwujud ular naga ini diberi nama Baru Klinting dan diasuh sampai tumbuh dewasa di daerah Rawa Pening, Ambarawa. Baru Klinting juga diberitahu soal siapa dan ke mana ayahnya pergi. Mengetahui itu, Baru Klinting pun menyusul ayahnya ke Gunung Merapi.
Sesampainya di sana, Ki Ageng Wonoboyo menemui anaknya yang tidak lain wujud dari pusakanya dulu. Ia mau mengakui Baru Klinting sebagai anaknya jika mampu melingkari puncak Gunung Merapi tanpa bantuan apa pun. Baru Klinting pun bersedia.
Ketika kepala dan ekornya hampir bertemu, Baru Klinting menjulurkan lidahnya. Seketika itu juga, Ki Ageng Wonoboyo memotong lidah Baru Klinting yang kemudian berubah menjadi sebilah tombak. Baru Klinting dikejar Ki Ageng Wonoboyo dengan tombak itu sampai ke laut selatan. Karena sudah tidak menemukan jalan keluar, Baru Klinting merubah dirinya menjadi sebatang kayu, berharap agar Ki Ageng Wonoboyo luput tidak menemukan dirinya.
Namun cerita berkata lain, Ki Ageng Wonoboyo melalui kesaktiannya mengetahui bahwa sebatang kayu itu adalah jelmaan dari Baru Klinting. Ia mengambilnya dan digunakan sebagai landean (kayu pegangan) tombak. Oleh Ki Ageng Wonoboyo, tombak itu diberi nama tombak kiai upas.