Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Poster Seruan ke Masjid

13 Juli 2020   17:12 Diperbarui: 13 Juli 2020   17:14 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita kerap mendapati sejumlah poster yang berisi tulisan guna membujuk masyarakat muslim untuk menunaikan shalat di masjid. Poster-poster itu dipampang di sepanjang jalan dan berdampingan dengan poster diskon kosmetik, barang-barang elektronik, kadang juga bersebelahan dengan poster pengobatan alternatif.

Poster-poster ajakan shalat ke masjid itu, juga telah merambah ke media sosial. Disebarkan melalui status atau kiriman grup whatsapp. Lengkap ditambahi caption yang diambil dari sejumlah ayat-ayat al-Qur'an atau riwayat sejarah nabi dan para sahabatnya.

Nah, poster dengan tulisan "Gerakan Shalat Subuh Berjamaah" menjadi poster terlaris dan terbanyak yang saya temui dibanding poster-poster lainnya. Tulisan di poster ini terlihat meyakinkan, dan gagah karena ada diksi "gerakan". Diksi yang tidak hanya berupa konsep semata, melainkan tindakan konkret yang mengajak bersama-sama untuk berangkat shalat subuh ke masjid.

Sepintas poster itu terlihat keren. Ada dakwah yang terselip di dalamnya. Namun poster itu muncul bukan dari ruang kosong dan untuk keperluan iseng. Poster itu muncul dari realitas masyarakat muslim yang didapati memilih shalat subuh di rumahnya masing-masing daripada di masjid, untuk tidak mengatakan bolong atau kesiangan. Di beberapa masjid, mungkin shalat subuh hanya didirikan oleh lima orang dari jumlah ratusan masyarakat muslim yang mukim di sekitar masjid.

Berbeda dengan waktu shalat lainnya yang jamaahnya lebih banyak dibanding shalat subuh. Apalagi untuk waktu shalat magrib dan isya. Untuk dua waktu shalat ini, masjid bisa sesak, karena yang datang tidak hanya jamaah yang mukim di sekitar masjid, tapi juga jamaah pendatang. Fakta seperti ini banyak didapati di banyak masjid.

Ada cerita lucu yang ditulis oleh MY Arafat dibukunya "Islam Jenaka Mbah Nyut". Suatu kali ada seorang mahasiswa, namanya Gus Ghofur, yang sowan ke rumahnya Mbah Nyut karena mengalami masalah yang tidak mudah. Katanya selama setahun belakangan ini, shalat subuhnya selalu kesiangan.

Mbah Nyut malah menjawab dengan santai. Saya tulis jawaban lengkapnya: "Kalo sampean subuhannya jam 4, pas azan Subuh, malah nanti gak kecatet.. malaikatnya itu udah rutin datang ke kost-kostan sampean setiap jam 8 pagi je.. jadwal dia nyatet subuhan sampean itu sudah tetap jam segitu.. jangan dimajukan.. kalo nanti sampean subuhannnya tepat waktu malah gak kecatet.. lha malaikatnya belum datang." Jawabannya ini sebenarnya lelucon, tapi menyindir umat muslim yang mendaku taat hanya di bibir.

Selain poster itu, ada juga poster dengan muatan tulisan dan pesan yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat muslim. Beberapa misalnya berbunyi, "Shalat Berjamaah Di Masjid Bonus Pahala 27x Lipat, Masih Shalat Sendirian Di Rumah?" atau "Pahalanya 27:1 Udah! Shalat Jamaahnya Ke Masjid Ajah!" Satu lagi yang pesannya mirip tapi gayanya nyomot milik iklan kartu perdana 3, "Shalat Wajib Berjamaah Bonus Pahala 27x Lipat, Mau? Hanya Di Masjid!"

Poster ini diproduksi 'mungkin' dialamatkan kepada mereka yang memang emoh menjejakkan kakinya ke masjid. Eits, tapi jangan keburu asal klaim bahwa mereka yang emoh ke masjid ini karena tidak mau menunaikan shalat. Ada banyak variabel yang bisa mempengaruhi orang datang dan tidak ke masjid. Ingat Ferguso, ini dunia sosial yang bisa cepat berubah dan terpengaruh oleh banyak varibel.

Di kampung halaman, saya memiliki tetangga, sebut saja namanya Pak Dol yang bisa menjadi prototipe pada poin ini. Di sekitar tempat tinggal Pak Dol ada sebuah masjid yang indah dan megah. Ia sendiri juga ditunjuk sebagai salah satu pengurus masjid, sekaligus mendapat jadwal imam shalat isya, khatib jumat, dan dipercaya menangani beberapa perayaan hari besar Islam.

Nah, selang beberapa tahun usai berdirinya masjid itu, Pak Dol enggan datang ke masjid. Ia memilih untuk menunaikan shalat di rumah. Padahal jarak rumahnya dengan masjid hanya seujung jari. Diajak rapat ia urung datang. Pun begitu ketika perayaan peringatan hari besar Islam ia tidak lagi mengomandoi acara. Pokoknya ia seperti lenyap ditelan bumi.

Usut punya usut, ternyata Pak Dol berkonflik dengan ketua pengurus masjid itu. Entah bentuk konfliknya apa, siapa yang mendahului, apa sebabnya, dan seabrek pertanyaan kepo netizen yang tidak perlu saya jawab, karena memang hanya Pak Dol, ketua pengurus masjid, dan Maha Berkuasa yang tahu (ehm). Tapi yang pasti, Pak Dol emoh lagi datang untuk menunaikan shalat di masjid itu.

Kasus yang dialami Pak Dol ini dengan poster berjamaah di masjid yang mendapat pahala 27x menjadi kurang relevan. Pasalnya, Pak Dol bisa saja membantah bahwa ia sendiri juga shalat berjamaah di rumah dengan anak semata wayangnya. Lha noh, kepiye jal?

Satu lagi, poster yang cukup menyindir kaum laki-laki. "Jogging 500 Meter Kuat, Ke Masjid 50 Meter Gak Kuat, Situ Laki?" Pesan di poster ini jelas dan tegas siapa sasarannya, yakni laki-laki. Tapi sayang, poster sangar ini pernah dikritik oleh teman perempuan saya seorang aktivis feminis.

Katanya, "poster ini sebenarnya hanya ingin menegaskan kembali bahwa pria itu kuat dan perkasa. Karena kuat dan perkasa, maka ia bisa melindungi perempuan". Ia mengatakan itu disertai merah cabe di raut wajahnya. Saya lupa persis kritiknya seperti apa, namun di akhir ia membuat sebuah konklusi dari poster itu yang ujung-ujungnya tentang maraknya poligami.

Nah, di balik produksi poster-poster seperti itu, saya perlu memberi sedikit catatan berdasarkan pengamatan saya. Kita mendapati poster itu banyak bermunculan sekitar sepuluh tahun terakhir ini. Memang perlu diapresiasi bahwa poster-poster itu memiliki daya dorong yang kuat untuk mengajak masyarakat shalat jamaah di masjid. Masjid menjadi ramai dan semarak. Namun pergeseran fakta ini juga dibarengi dengan pergeseran tindakan yang destruktif seusai shalat rampung ditunaikan.

Misalnya begini, ada orang yang selalu tertib jamaah lima waktu shalat di masjid. Namun tutur kata dan tingkah lakunya setelah shalat lebih beringas. Seakan-akan ada nada penghakiman acap kali berbicara dengan orang lain. Kalau katanya Mbah Sujiwo Tejo, ada benih sombong yang tidak terasa. Karena ia 'merasa lebih baik' telah melakukan shalat berjamaah dibanding dengan mereka yang tidak jamaah ke masjid.

Selain itu, poster ini secara tidak langsung menunjukkan wajah Islam yang semakin ke sini intensitas berkunjung ke masjidnya semakin berkurang. Kalau kata penceramah-penceramah agama Islam, umat muslim lebih suka ke mall, pasar, atau tempat hiburan ketimbang ke masjid. Mungkin ada benarnya.

Tapi yang perlu digarisbawahi adalah masjid hari ini hanya memberi tawaran sebagai tempat peribadatan, sehingga banyak sisi-sisi lain dari masjid yang tidak difungsikan secara optimal. Akibatnya masjid tidak lagi menjadi pusat dan daya tarik masyarakat seperti halnya mall, restauran, pasar, dan tempat wisata. Begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun