Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyelami Kisah Hidup Waria

14 Juni 2020   14:28 Diperbarui: 14 Juni 2020   15:20 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Waria, begitu orang-orang menyebutnya. Saya sendiri sering memanggilnya dengan sebutan 'om'. Karena menurut saya itu lebih pantas ketimbang sebutan yang lainnya. Toh, tidak terkesan merendahkannya juga. 

Usianya kurang lebih sekitar 60an tahun. Awal jumpa pertama dengannya, ketika di dapur asrama ada acara masak-masak. Maklumlah, orang-orang perantauan ketika yang satu makan maka yang lain juga turut merasakan. 

Tidak enak hati jika masak hanya untuk diri sendiri. Ia mengatakan, "kamu tidak takut sama aku. Aku ini banci lho. Tidak takut kamu?"

"Tidak, ngapain juga takut. Sama-sama manusianya", jawab saya spontan. Dari perkenalan itu, saya dengannya menjadi kenal sampai hari ini.

Ada beberapa hal yang membuat saya pribadi kagum dengannya, diantaranya ia ternyata telah menunaikan ibadah umroh dua kali ke tanah suci. Ketika saya diceritakan perjalanannya umroh dengan logat khasnya tentang kondisi Makkah dan Madinah, oleh-oleh yang dibawanya, teman-temannya satu pasukan, dan lain sebagainya, saya hanya terperangah dan menyimaknya dengan saksama. Ia sendiri menyatakan keinginannya ingin menunaikan umroh lagi untuk yang ketiga kali, jika Allah menghendaki.

Ia juga cerita selagi usianya masih belia yang kerap kali mendapat perlakuan diskriminasi oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan sekarang pun ia masih mengalaminya, meskipun tidak separah dulu. 

Pernah dulu suatu ketika, usai menunaikan shalat dhuhur kemudian keluar masjid, ia dicaci oleh takmir masjid. Katanya, "kamu tidak akan masuk surga, dosamu sudah banyak. Bahkan jika kamu tobat pun, belum tentu Allah menerima". Ia bercerita sambil memperagakan gaya takmir itu.

Ia tidak diam saja dan sejurus kemudian membalasnya dengan ucapan yang tidak kalah pedas. "Memangnya kamu yang jadi takmir masjid, setiap hari ngurusin masjid, bisa masuk surga? Memangnya Allah melarang orang banci untuk shalat? Justru kamu itu, takmir yang dikira orang sholeh malah ngomongnya kayak setan", ujarnya dengan wajah merah padam. Mungkin ia teringat masa itu yang tidak dihargai sebagai manusia semestinya.  

Saya rasa memang balasan seperti itu harus diutarakan, minimal untuk menggertak si takmir agar tidak semena-mena dan merasa jumawa karena hidupnya terus berkelindan di sekitar area masjid. 

Toh, pada dasarnya rumah Allah yang disebut masjid juga digunakan untuk menaungi seluruh ciptaan-Nya. Termasuk waria, si miskin, orang kaya, petani, konglomerat, koruptor, penjahat, pendakwah, dan hewan terkecil sekalipun juga punya hak untuk menggunakan masjid. Minimal untuk berteduh saat panas atau hujan, istirahat ketika penat, dan beribadah ketika berkehendak.

Ia juga menceritakan punya banyak kenalan gentho-gentho (sebutan preman untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya). Dan ia mengatakan tidak takut bergaul dengan mereka. 

Menurutnya, justru orang-orang seperti mereka harus didekati. Bukan malah dijauhi. Minimal jika kita mau mendekat, mereka mau menceritakan sebabnya kok bisa sampai terjerumus dalam hal seperti itu. Katanya, "mereka itu orangnya baik, mereka tidak mau berbuat jahat pada orang-orang yang telah berbuat baik pada mereka".

Sekali waktu, ia pernah diajak ikut pesta minuman keras, tapi ia hanya sebatas mengamati saja, tidak ikut minum. Ketika semua hampir teler, ketua genknya bilang untuk mengantarkannya pulang. Karena jika sudah terlalu teler, takutnya ada adu jotos. Ya namanya juga orang mabuk. Sampai sekarang komunikasinya dengan gentho-gentho tadi masih terjalin akrab. 

"Beberapa sudah meninggal, sisanya sudah berkeluarga. Anaknya ada yang mengikuti jejak ayahnya meskipun tidak separah ayahnya dulu. Tapi ada juga anaknya yang berubah jadi baik, tidak mengikuti jejak kenakalan ayahnya", ujarnya dengan bibir tersungging.

Ia juga punya pemahaman bahwa manusia beragama itu harusnya punya sopan dan santun. Minimal jika bertemu, harus bertutur sapa. Entah memanggil dengan woy, kek, atau kalau yang disapa lebih tua bisa mengatakan monggo, dan kata sejenis lainnya. Harusnya demikian.

Tapi ia sendiri juga menyadari bahwa tidak setiap manusia memiliki pemahaman yang sama tentang hal itu. Dari situ, ia membuat prinsip untuk menyapa lebih dulu, siapa pun itu. 

Akan tetapi jika tiga kali sapaannya tidak direspon, ia tidak akan menyapa lagi. Kenapa? Menurutnya itu sebagai sikap untuk mengimbangi. Kalau mereka cuek, kita ya cuek, kira-kira begitu.

Ia pernah menasehati saya. Simpel dan sederhana, tapi praktiknya bisa membuat orang pontang-panting. Tuturnya, "jika kita ada salah minta maaf, jika mau melakukan sesuatu permisi, jika diberi bantuan mengucapkan terimakasih. Saya dapat pelajaran ini dari teman nasrani. Harusnya semua orang bisa sadar hal-hal seperti ini. Tapi kadang malah ada yang berbuat seenaknya sendiri".

Dari penuturannya itu, lamat-lamat saya menginsyafi bahwa orang-orang di luar sana yang telah merampungkan buku babon puluhan, merasa normal dan cerdas, kadang malah kurang arif dalam melihat fakta dibanding waria yang kerap kali mendapat stempel sebagai perilaku menyimpang. Jangan-jangan, malah kebalikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun