Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal Pesantren, Masih Gamang?

8 Juni 2020   10:33 Diperbarui: 8 Juni 2020   11:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pesantren belum menentukan langkah. Keputusan pasti untuk mengajak kembali santri mengaji ke pesantren perlu kalkulasi yang matang. Mengingat di pesantren, sejumlah protokol kesehatan cukup sulit untuk diterapkan.

KH Abdul Ghaffar Rozin, Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'had Al Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama menilai standar new normal untuk pesantren belum jelas. Ia mengingatkan publik bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis komunal. Selama 24 jam, aktivitas santri baik di kamar, kelas, tempat makan, maupun masjid selalu memicu kerumunan.

Data dari Kementerian Agama, ada sekitar 28.194 pesantren di Indonesia. Dengan jumlah santri mukim sekitar 5 juta, santri tidak mukim sekitar 13 juta, dan pengajar sekitar 1,5 juta. Jumlah ini tidak sedikit. Potensi penularannya pun juga lebih besar dan cepat.

"... pada tingkat paling sederhana, penerapan new normal di pesantren adalah dengan membiasakan hidup sehat, menggunakan masker, dan mencuci tangan. Tatanan baru tersebut juga dapat dilakukan dengan pembelajaran berjarak. Hanya saja, hal itu dinilai akan sulit untuk diterapkan bagi pesantren yang memiliki ribuan santri." Penuturan ini dimuat di berita berjudul "New Normal Pesantren Belum Jelas" di Koran Republika, 08 Juni 2020.

Urusan new normal pesantren ternyata juga berkaitan erat dengan pemasok penderita tuberkulosis (TBC). Pesantren menduduki urutan ketiga teratas pemasok TBC. Katanya, "yang kena TBC di pesantren, kalau tidak sekamar, ya satu kelas." Hal ini disampaikan mungkin sebagai alarm kepada pemerintah, pengurus pesantren dan santri sendiri, bahwa urusan new normal bisa memicu kenaikan orang yang terpapar covid 19.

Di sisi lain, pesantren juga disorot pola hidup sehatnya yang kurang memenuhi standar. Pesantren kurang menaruh perhatian pada sehat, bersih, dan rapi. Padahal bisa saja indikator pola hidup sehat di pesantren berbeda dengan menteri kesehatan atau ahli gizi. Laku tirakat dengan berpuasa dan makan nasi-sayur yang melulu mengundang prihatin sebagai pembelajaran jasmani dan rohani menjadi ikhtiar pola hidup sehat di pesantren.

Beberapa institusi pemerintahan yang menaruh perhatian pada pesantren masih menggodok dan belum menemukan keputusan final. Namun berbagai pendapat, baik dari MUI maupun pengurus pesantren berdatangan dan semua dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Masa PSBB yang dilanjutkan dengan memasuki new normal ini menjadi tantangan bagi pesantren untuk tetap survive. Dalam banyak literatur mengenai Islam di Indonesia, pesantren tidak luput dibahas dan dimasukkan sebagai bagian integral keberislaman masyarakat Indonesia. Kendati beberapa literatur ada juga yang memandang sinis terhadap keberadaan pesantren, namun itu tidak menjadi persoalan, selama pesantren melalui santri-santrinya turut berkontribusi aktif-positif membangun masyarakat.

Hasan Basri Marwah dalam pengantarnya di buku "Pesantren dan Kebudayaan" (Yogyakarta: Lesbumi Yogyakarta, 2020) mengingatkan "pesantren adalah tradisi panjang dalam sejarah umat Islam di Nusantara yang tidak memiliki keharusan mengikuti jalan dan persecabangan jalan yang dilalui orang lain. Pesantren menegaskan masalah pentingnya arti harga diri dan kedaulatan (sesuatu yang sudah luntur di dunia pesantren hari ini) untuk menapaki tanjakan kebudayaannya sendiri." Ya, pesantren memang berbeda. Kadang mengikuti arus, kadang menepi, dan kadang melawan arus.

Dan mungkin tanpa adanya pesantren, laku keberislaman kita hari ini dominan keras-kasar. Cenderung menghakimi, tidak luwes, dan minim guyonan. Kata Gus Dur, "kita butuh Islam ramah, bukan marah."

Lantas apakah pesantren akan memulai new normal kembali dengan konsekuensi penularan yang 'mungkin' bisa memuncak? Atau beradaptasi? Atau malah akan menemukan solusi untuk mencegah penularan yang tidak hanya diterapkan di dunia pesantren, tapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia? Menarik untuk menanti terobosan dari pesantren.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun