Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Luka Para Penderma : Antara Ikhlas, Harapan dan Realitas

5 September 2025   14:25 Diperbarui: 6 September 2025   07:01 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

"Jangan bersedih jika kebaikanmu tidak dibalas. Matahari pun setiap pagi adalah pertunjukan gratis, namun kebanyakan manusia hanya mengeluh tentang panasnya." 

Di suatu pagi yang sejuk, istri saya duduk termenung. Di tangannya masih tergenggam segelas sisa kopi buatan saya  yang perlahan mendingin. Sisa kopi begadang selamam. Ia bercerita, sambil tersedu dengan suara yang nyaris tenggelam, tentang begitu banyak orang yang pernah ia bantu ketika kesulitan. Semua ia lakukan dengan tulus, dengan doa yang diam-diam ia bisikkan: semoga mereka kelak melakukan hal yang sama untuk orang lain. Namun kenyataannya, tidak demikian. Ada yang kembali lagi dengan permintaan baru, ada yang bahkan melupakan bantuan itu seolah tak pernah terjadi, dan ada yang justru menjauh.

Hari itu, cerita istri saya seakan di aminkan oleh status seorang teman lama di media sosial. Ia seorang pengusaha tenologi. Dengan penuh pengorbanan, ia membiayai sekolah dan kuliah beberapa karyawan, mengangkat mereka dari lumpur kemiskinan, memberikan posisi terhormat,  memperlakukan mereka bak adik dan anak sendiri. Tapi balasannya adalah pengkhianatan. Beberapa karyawan yang ia besarkan pergi begitu saja, mendirikan usaha serupa, bergabung dengan kompetitor bahkan merebut sebagian pelanggan.

Dua kisah berbeda, dua hati yang sama-sama retak oleh hal yang sederhana: harapan yang tidak sejalan dengan kenyataan. Luka seperti ini bukan sekadar soal uang atau tenaga yang hilang, tetapi perasaan dalam diri bahwa kebaikan seolah tak berarti.

Mengurai Fenomena dengan Kacamata NLP

Dalam kerangka Neuro-Linguistic Programming (NLP), kejadian seperti ini bisa dilihat dari bagaimana manusia memaknai pengalaman. NLP berangkat dari keyakinan bahwa kita hidup dalam "peta" pikiran masing-masing, bukan realitas yang sesungguhnya.

Istri saya memiliki peta bahwa kebaikan akan berbalas dengan kebaikan. Teman saya sang pengusaha hidup dalam peta bahwa investasi emosional dan materi akan menghasilkan loyalitas. Sayangnya, peta orang lain tidak sama. Ada yang menganggap bantuan itu wajar, ada yang merasa itu hutang budi, ada pula yang justru merasa terkekang lalu memilih lepas.

NLP mengajarkan kita untuk melakukan reframing: mengubah bingkai makna dari pengalaman yang menyakitkan. Dalam kasus istri saya, reframing bisa berbunyi, "Saya menolong karena itu bagian dari nilai hidup saya, bukan karena menunggu balasan." Sementara bagi sang pengusaha, reframing bisa seperti, "Mereka pergi bukan karena saya gagal, tapi karena perjalanan mereka memang berbeda."

Apakah itu mudah? Tentu tidak. Luka hati tidak serta-merta sembuh hanya dengan kalimat bijak. Namun NLP mengajarkan bahwa perubahan pertama selalu dimulai dari bahasa yang kita gunakan untuk berbicara dengan diri sendiri.

Ada juga teknik anchoring untuk menjaga emosi tetap positif. Saat kecewa, kita bisa memanggil kembali kenangan saat kebaikan kita benar-benar dihargai, misalnya senyum tulus seorang anak yatim yang diberi uang jajan, atau air mata haru seseorang yang terbantu ketika terdesak. Dengan melatih diri untuk mengaitkan kenangan positif pada saat emosi negatif datang, kita tidak larut dalam luka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun