Pagi di kantor selalu dimulai dengan hal-hal kecil yang sama, seperti paragraf pembuka dalam buku favorit yang sudah kita baca ratusan kali tapi tetap kita baca ulang. Jam dinding menunjuk angka tujuh lebih sedikit. Di luar gerbang utama setelah taman, suara motor lalu-lalang, klakson bersahutan seperti orkestra yang dimainkan tanpa konduktor. Di dalam ruangan, aroma kopi robusta sudah mulai merebut perhatian dari tumpukan dokumen di meja.
Saya berjalan ke pantry yang berjarak tidak lebih 10 meter, menyalakan mesin kopi yang sudah setia bekerja di kantor ini, yang hampir pasti lebih setia dari pemiliknya. Mesin itu menderu pelan, lalu memuntahkan uap hangat yang menari di udara. Rasanya seperti menyaksikan pagi memeluk saya lewat secangkir hitam pekat bertabur creame coklat.
Kopi pertama di pagi hari adalah semacam ritual peradaban kecil bagi saya. Ia bukan sekadar minuman, tapi tanda bahwa hari baru resmi dimulai. Detik nol.Â
Sambil menunggu kopi siap, saya membuka laptop. Jari saya otomatis bergerak membuka aplikasi  email kantor. Biasanya surat dari rekan kerja atau kolega dari unit lain, atau undangan rapat dari atasan,  yang sering kali datang dengan subjek "Penting" walau isinya kadang hanya penyampain rutin atau sekedar tembusan.
Lalu, seperti kebiasaan banyak orang, saya membuka WhatsApp. Dan seperti biasa, grup kantor sudah seperti pasar pagi yang penuh lalu lintasan pesan, kadang riuh oleh foto makanan, kadang  keluhan jaringan internet atau aplikasi , kadang  lapak sampingan. Tidak jarang video yang tidak jelas dari mana datangnya.Â
Pagi ini, di salah satu grup , seorang rekan mengirim video dengan judul huruf kapital semua. "666 SUDAH MASUK INDONESIA!!!" Tiga tanda seru, dan diakhiri emotikon wajah terkejut. Ah, ini pasti menarik, entah dalam arti sesungguhnya atau ironi.
Saya klik.
Video itu dimulai dengan musik latar dramatis, seperti trailer film horor. Ada gambar barcode yang diperbesar, potongan berita internasional, dan wajah dan narasi suara laki-laki yang terdengar seperti pembawa acara radio konspirasi. Ia mengaitkan segala hal, barcode di kemasan makanan, pembayaran QRIS, chip elektronik. Semuanya itu dikaitkan pada angka 666. Seolah-olah semua jalan menuju satu kesimpulan. Ini tanda kiamat digital, dan kita sedang melangkah ke dalamnya.
Saya tersenyum tipis. Ah, 666. Angka yang konon  di  Kitab Wahyu disebut sebagai "bilangan binatang", yang selama ribuan tahun hidup di persimpangan antara mitos, agama, dan imajinasi manusia. Dalam interpretasi tradisional, ia simbol kekuatan jahat yang akan berkuasa di akhir zaman. Tapi di era modern, 666 justru sering tampil sebagai cameo di banyak genre, dari lirik musik metal, sampul majalah, hingga cerita horor.
Bahkan di dunia hiburan, 666 adalah semacam bumbu penyedap. Hollywood memakainya untuk menjual ketakutan, band rock memakainya untuk menjual pemberontakan, dan YouTuber memakainya untuk menjual klik. Kini, di grup WhatsApp kantor, 666 hadir untuk menjual... entah apa.
Narator "mirip"agamawan di video itu kemudian masuk ke topik yang lebih spesifik tentang microchip yang konon akan ditanam di tangan atau dahi, agar kita bisa bertransaksi tanpa uang tunai. "Ini persis seperti yang ditulis ribuan tahun lalu," katanya, menegaskan nada misterius. "Tanpa tanda itu, tidak seorang pun dapat membeli atau menjual."