Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Overdosis di Mamberamo (1)

27 Juli 2016   15:18 Diperbarui: 27 Juli 2016   15:27 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Empat hari yang lalu saya terserang diare dengan bonus perut kembung, melilit, dan mual. Tanpa stetoskop, saya dapat mendengar betapa berisiknya bunyi di dalam perut. Setiap kali otot usus berkontraksi, saya harus gerak cepat ke toilet kalau nggak mau kebobolan.

Kontraksi-ke toilet-minum obat diare. Begitulah ritualnya selama 24 jam. Entah berapa butir obat yang saya telan dengan khusyuk. Yang pasti adalah dua jenis tablet maag, sirup maag, satu jenis tablet diare, dan satu puyer diare. Rasanya sama, pahit semriwing.

Setelah 30 jam, akhirnya kontraksi berhenti tanpa tahu obat mana yang paling tokcer. Eehh…saking tokcernya, sudah 48 jam saya malah nggakbisa buang air besar (BAB). Kurang ajar kan nih perut? Apa saya saya musti minum pencahar perut supaya bisa BAB lagi? Hmmm, apa ini yang namanya overdosis? Hadeuhh.

Ngomongin overdosis, membawa ingatan saya melayang ke peristiwa di tahun 2000 yang nyaris menjadi insiden internasional. Saat itu saya bekerja di organisasi Conservation International untuk melakukan pelatihan dan penelitian keanekaragaman hayati di hutan sekitar Dabra, Lembah Sungai Mamberamo (sekarang Kabupaten Mamberamo Raya, Papua). Kawasan ini jarang diteliti sehingga semua peserta antusias untuk menemukan spesies baru.

Kegiatan ini diikuti oleh 20 orang yang berasal dari Indonesia, Papua New Guinea, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Kita terbagi ke dalam kelompok tumbuhan, ikan, amfibi-reptil (herpet), burung, mamalia, serangga air, dan kupu-kupu. Selain mengkoordinir kegiatan, saya bergabung dengan tim burung bersama Bas van Ballen dan David Kalo.

Suatu hari tim burung menyusuri rute di tepi Sungai Furu yang bermuara ke Sungai Mamberamo (nama lainnya Idenburg River). Sekitar jam 9 pagi, kami berjumpa tim ikan yang asyik main air.

Paul dan Heni membentangkan jaring khusus untuk menangkap sampel ikan yang akan diidentifikasi. Sang ahli ikan dari Australia yang kita namakan Jeri, menaburkan rotenon dari jarak sekitar 50 meter ke arah hulu. Rotenon ini semacam bubuk tuba yang terbuat dari suatu jenis tanaman yang lazim digunakan untuk penelitian ikan. Setelah dicampur dengan air, rotenon disebarkan ke bagian sungai yang aliran airnya lambat. Ikan-ikan akan mabuk, semaput, atau lambat geraknya sehingga lebih mudah ditangkap atau terbawa arus air lalu masuk ke dalam jaring.

Sejujurnya saya ingin terus bermain di air jernih Sungai Furu yang dalamnya hanya selutut sambil mengejar-ngejar ikan yang puyeng di sela bebatuan. Tetapi kami harus bergerak menuju rute pengamatan burung selanjutnya. Kami pun berpisah untuk kembali menyusuri Sungai Furu menuju Sungai Mamberamo.

Berhadapan dengan Sungai Mamberamo seperti melihat laut berwarna coklat susu. Inilah Amazon-nya Indonesia. Penghulunya sungai di Papua. Membentang dari tengah-tengah Papua menuju pesisir utara. Ratusan anak sungai berukuran kecil hingga sebesar Sungai Roffaer dari arah barat dan Sungai Idenburg dari arah timur membentuk raksasa Sungai Mamberamo. Berkelok-kelok, mengular, melebar menuju pantai utara Papua.

Di lembah Sungai Mamberamo inilah terletak Suaka Margasatwa Rouffaer seluas 310.000 hektar dan SM Pegunungan Foja seluas 1.018.000 hektar. Di area ini pula sempat diusulkan pembangungan bendungan raksasa yang akan merendam lembah Mamberamo beserta keanekaragaman hayatinya.

Beningnya air Sungai Furu seolah ditelan bulat-bulat oleh raksasa Mamberamo yang bertubuh coklat. Dari sungai inilah masyarakat mendapatkan ikan mas dan lele dumbo seukuran betis orang dewasa. Bahkan di sinilah tempat berburu buaya air tawar Crocodylus novaeguinea yang kulitnya bernilai jual. Saya cukup beruntung mendapatkan makan siang berupa seekor lele dumbo yang dibakar tanpa bumbu, tanpa nasi (Note: Lele dumbo dan ikan mas ini bukan asli Papua. Puanjaaaang ceritanya sampai ikan-ikan itu menghuni Mamberamo).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun