Judul Artikel : Kerusuhan sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi, Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis
Penulis : Drs. Study Rizal L.K, M.Ag
Tahun : 2025
Sumber : Kompasiana (https://www.kompasiana.com/studyrizallk6810/68bdaf84c925c44d07061852/kerusuhan-sebagai-bahasa-yang-putus-membaca-tragedi-arogansi-elite-dan-solusi-komunikasi-kritis?)
Kerusuhan adalah salah satu bentuk konflik sosial yang terjadi secara berkelompok untuk melakukan tindakan kekerasan. Kerusuhan muncul bukan tanpa alasan, melainkan tindak balas terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil dan suara rakyat yang tak kunjung di dengar. Dalam artikel “Kerusuhan sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis” mengungkapkan kekecewaan yang mendalam terhadap elite politik yang arogansi, tindakan aparat yang represif, dan lemahnya ruang aspirasi yang berujung pada penjarahan rumah anggota dewan, pembakaran gedung DPRD, dan perusakan fasilitas publik. Tindakan tersebut dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang tak didengar dan selalu dibungkam.
Namun, kerusuhan bukan sekadar tindakan anarkis, melainkan sebagai simbol kegelisahan kolektif masyarakat yang merasa ditinggalkan. Rakyat hanya ingin didengar, diberlakukan adil serta diberi ruang terbuka untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan. Ironisnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya menjadi wadah aspirasi publik justru sering dianggap jauh dari rakyat. Kesenjangan itu semakin nyata, ketika sebagian anggota dewan menari-nari di tengah luka rakyat.
Fenomena ini mencerminkan adanya jurang empati yang telah mati antara wakil rakyat dan rakyat. Ketika anggota dewan lebih sibuk mengurus kepentingan politik dan kesejahteraan pribadi sehingga jeritan masyarakat tak lagi didengar, kesenjangan sosial yang semakin melebar, simbol-simbol arogansi yang ditampilkan.
Dampak dari fenomena tersebut melemahkan kepercayaan publik, membuat komunikasi politik menjadi timpang dan tidak efektif, dan menumbuhkan sikap apatis di kalangan masyarakat. Dimana rakyat enggan berpartisipasi lagi dalam demokrasi karena merasa tidak ada manfaatnya. Maka dari itu, solusi yang dibutuhkan bukanlah penindasan, kekerasan, dan pembungkaman, melainkan pembangunan komunikasi yang terbuka, kritis, serta humanis. Dengan upaya tersebut, aspirasi rakyat akan tersampaikan dengan baik dan sehat. Sehingga kerusuhan tidak lagi menjadi bahasa terakhir masyarakat dan krisis komunikasi politik dapat teratasi.
Dari artikel ini kita dapat mengambil sebuah makna tersirat bahwa kerusuhan hanyalah jeritan sunyi yang lahir dari telinga-telinga kekuasaan yang tuli. Saat empati tetap mati dan komunikasi politik tetap dibungkam, maka bara kecil akan bertranformasi menjadi api besar. Namun, jika ruang bicara dibuka, suara rakyat kembali di dengar, dan keadilan ditegakkan, maka kerusuhan tak perlu lagi menjadi bahasa terakhir, sebab demokrasi telah menemukan nadinya kembali.
Nama Penulis : Suci Yasmin Ramdhani
NIM : 12405041040073