Mohon tunggu...
Suci Fitrah Syari
Suci Fitrah Syari Mohon Tunggu... Bermanfaat Bersama

"Jika engkau bukan anak Raja, bukan pula anak Ulama Besar, maka jadilah seorang Penulis." ~ Imam Al-Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Keluarga dalam Menangkal Pornografi pada Game Anak

27 September 2025   08:52 Diperbarui: 27 September 2025   08:54 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendampingan orangtua saat anak bermain game (Sumber: Chatgpt)

Seorang praktisi parenting bercerita bagaimana anak perempuannya mengalami pelecehan, setelah pulang bermain dengan anak lainnya yang tinggal di sekitar rumahnya. Setelah diselidiki, ternyata pelaku adalah seorang anak remaja yang sering bermain game simulator, dimana game tersebut mengandung adegan seksual. Akibat sering terpapar dengan konten pornografi dalam game yang dimainkan, pelaku mencoba mempraktikkan adegan tersebut dengan meminta korban untuk melepas bajunya. Saat ditanya lebih lanjut, pelaku tidak menyadari bahwa tindakannya salah dan menganggap sebagai candaan yang dilakukan bersama teman-teman lainnya. Sementara itu, orang tua pelaku tidak menyadari tentang tindakan anaknya akibat minimnya pengawasan dan ketidaktahuannya tentang dampak yang ditimbulkan dari gadget maupun berbagai aplikasi yang ada di dalamnya.

Gadget menjadi alat yang sering diakses oleh anak. Tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tapi juga kerap digunakan sebagai hiburan untuk bermain game. Berdasarkan laporan BPS (2023), anak yang bermain game di Indonesia mencapai 46,2 persen dengan rentang usia 0-18 tahun, membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai pasar game online terbesar di dunia. Meski game menjadi hiburan untuk anak, namun orang tua juga harus memberi pengawasan dan pendampingan, karena beberapa game yang dapat diakses oleh anak-anak mengandung konten pornografi. Jika tidak diberi edukasi, maka anak tidak hanya terpapar konten dewasa yang ada dalam games, namun juga bisa bertindak sebagai pelaku.

Roblox merupakan salah satu game yang banyak dimainkan oleh anak-anak di dunia.  Dilansir dari Statista (2025), pengguna aktif Roblox untuk rentang usia di bawah 13 tahun mencapai 39,7 juta pengguna aktif harian. Roblox merupakan game metaverse dengan tampilan menarik dimana pemain dapat berimajinasi dan berkreasi untuk membangun dunia virtual yang diinginkannya. Meskipun menjadi mainan yang paling banyak digemari oleh anak-anak, namun terdapat unsur konten dewasa di dalamnya. Di Indonesia, terdapat sistem rating video games atau Indonesia Game Rating Systems (IGRS) untuk mengklasifikasikan rekomendasi usia dalam memainkan game, mulai dari Semua Umur (SU) sampai dengan usai 18 tahun ke atas. Rating usia pada game Roblox  yaitu 12+  yang menunjukkan bahwa game tersebut terkategori sebagai konten yang dibatasi sebagian, karena memuat beberapa konten yang dapat menampilkan kekerasan, simulasi perjudian, penggunaan obat-obatan dan alkohol, horor, bahasa ringan dan interaksi online. Sementara itu, dalam Pan European Game Information (PEGI), rating 12+ menunjukkan bahwa isi game dapat menampilkan kekerasan, ketakutan, judi, bahasa kasar, interaksi daring, dan pornografi.

Kesempatan bagi pemain game untuk membuat konten dan berinteraksi dengan pemain lainnya, membuka peluang dan ruang bagi anak lebih mudah terpapar dengan konten-konten dewasa. Tontonan dapat menjadi referensi berpikir, sehingga apabila anak terus-terusan terpapar dengan konten pornografi, maka akan berpengaruh pada sikap dan tindakan mereka. Diawali dari kecanduan, berlanjut pada penyimpangan perilaku, hingga sampai pada acting out yaitu dorongan untuk mempraktikkan aktivitas yang dipertontonkan dalam konten vulgar. Paparan pornografi sangat mudah memberi pengaruh pada otak manusia. Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif dari penggunaan game, maka keluarga memiliki peranan penting sebagai pilar utama yang dapat diandalkan dalam edukasi anak melalui literasi digital. Terdapat tiga peran utama yang perlu dilakukan dalam menguatkan literasi digital keluarga guna menangkal konten pornografi pada game anak.

Pertama, keluarga berperan sebagai edukator. Anak perlu diajarkan untuk mengidentifikasi game yang boleh dan tidak boleh untuk diakses dengan penjabaran yang rasional di usia mereka. Diperlukan keterbukaan dalam berkomunikasi, karena anak sebagai native digital juga perlu memahami peluang juga risiko dari penggunaan teknologi. Edukasi tersebut dapat diiringi dengan mengenalkan anak tentang pendidikan seksual tidak hanya dalam kehidupan nyata, namun juga bagaimana pendidikan seksual diterapkan dalam menghadapi tantangan dalam dunia digital. Ketika anak sudah diedukasi untuk mengenali dan menjaga tubuhnya, maka anak bisa lebih selektif untuk berbagi informasi dan bertindak jika bertemu dengan konten-konten yang tidak sesuai dengan usianya. Edukasi dapat dilakukan dengan membekali anak simulasi tentang apa yang harus dilakukan apabila melihat konten dewasa, mengalami perundungan, atau mendapat pelecehan virtual saat bermain game agar tidak ragu untuk keluar dari permainan dan melaporkannya pada orangtua.

Kedua, keluarga berperan sebagai tempat aman. Terdapat persepsi tabu yang masih melekat dalam beberapa kelompok masyarakat, khususnya ketika membahas tentang seksualitas dan alat reproduksi. Topik tersebut menjadi obrolan yang kurang nyaman antara orang tua dan anak, sehingga tak jarang anak pun merasa sungkan bahkan takut mengkomunikasikannya. Sementara itu, di sisi lain, beberapa game memungkinkan penggunanya untuk berkomunikasi secara daring dengan pemain lainnya, sehingga kesempatan ini dimanfaatkan oleh predator seksual anak untuk melakukan online grooming dengan memulai percakapan ringan dalam ruang obrolan dan membuat korban terikat secara emosional, agar pelaku dapat melanjutkan aksinya dengan melakukan percakapan seksual hingga berbagi konten pornografi. Ada banyak ancaman yang mengintai anak di ruang digital, maka dari itu peran keluarga menjadi begitu krusial untuk menciptakan ruang paling aman bagi anak untuk bisa bercerita dan berbagi setiap kejadian yang dialami, tanpa rasa takut untuk dihakimi, disalahkan, dan ditolak. Lingkungan yang aman membuat anak merasa didengarkan dan didukung, sehingga keluarga dapat menjadi ruang yang nyaman untuk anak mengekspresikan perasaannya tanpa perlu mencari pelarian di dunia luar.

Ketiga, keluarga berperan sebagai kolaborator. Keluarga merupakan bagian dari ekosistem masyarakat yang tidak bisa bergerak sendiri. Untuk itu, selain mumpuni dalam mengedukasi dan mendengarkan, keluarga dapat menjadi penggerak dalam membangun kolaborasi dengan pihak lainnya guna melindungi dan menangani paparan pornografi pada anak. Sebagaimana kisah di awal, dimana seorang praktisi parenting sekalipun yang sudah berusaha mengedukasi dan menjadi ruang aman untuk putrinya, namun justru tetap mendapat pelecehan dari lingkungan luar. Artinya bahwa, masalah ini tidak bisa hanya dilakukan oleh masing-masing orang tua, namun perlu kerjasama dengan berbagai pihak, baik lingkungan sekolah, RT/RW, lembaga masyarakat, maupun pemerintah. Upaya yang dilakukan di tingkat mikro hingga makro akan memberi dampak signifikan dalam membentuk ekosistem yang sehat, aman, dan nyaman untuk anak tumbuh dan berkembang.

Keluarga harus hadir secara utuh, tidak cukup hanya melarang atau mengawasi saja, namun juga sebagai edukator bagi anak dalam mengakses berbagai pengetahuan dan informasi, menjadi ruang aman untuk anak mengekspresikan diri, serta menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak untuk membangun ekosistem lingkungan masyarakat yang peduli terhadap berbagai ancaman pornografi anak di dunia nyata maupun maya. Pendekatan holistik melalui peran keluarga di atas saling bersinergi dengan kemampuan literasi digital keluarga. Semakin meleknya literasi digital keluarga dengan menjadi edukator, ruang aman, dan kolabolator dapat menjadi upaya dalam melindungi anak dari ancaman pornografi yang terdapat dalam game, serta menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan tangguh dalam menghadapi tantangan era digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun