Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebaikan Terlalu Nyaring dalam Budaya Pencitraan

4 Agustus 2025   04:36 Diperbarui: 4 Agustus 2025   04:36 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Nischal Masand di Unsplash 

Artikel reflektif tentang bagaimana praktik filantropi sering dipertontonkan demi pencitraan, menyoroti batas tipis antara ketulusan dan kebutuhan akan pengakuan sosial di era media digital.

Di balik setiap unggahan kebaikan di media sosial, sering tersembunyi pertanyaan yang tidak terucap. Untuk siapa sebenarnya kebaikan itu dilakukan? Apakah demi membantu sesama atau demi terlihat peduli? Ketika kamera mulai mendikte cara kita menolong, dan saat likes menjadi mata uang moral, maka sudah saatnya kita bertanya ulang: apakah kebaikan masih setulus dulu? Atau kini ia menjadi panggung baru bagi citra yang dirancang rapi?

Ada masa ketika kebaikan berjalan diam-diam. Ia tidak membawa kamera, tidak menunggu tepuk tangan, dan tidak berharap namanya disematkan dalam narasi heroik. Namun zaman telah berubah. Sekarang, kebaikan datang bersama caption, dibingkai dengan sudut pengambilan gambar terbaik, dan diberi latar musik yang menyentuh agar lebih menggugah hati pemirsa. Kebaikan yang dulu bersahaja kini terdengar terlalu nyaring.

Media sosial menciptakan ritual sosial baru, yaitu kebaikan yang dipertontonkan. Seseorang memberi sembako, lalu mengambil beberapa foto, satu dengan paket bantuan, satu bersama penerima, dan satu saat menyerahkan bantuan tersebut. Kamera menjadi saksi utama. Bahkan kadang penerima bantuan hanya dijadikan latar belakang dari narasi utama, yaitu si pemberi.

Kamera itu seakan lapar. Bukan lapar makanan, tetapi lapar impresi. Lapar validasi. Dan yang paling mudah untuk menarik perhatian publik adalah kebaikan. Karena kebaikan, ketika dikemas dengan narasi yang menarik, bisa membentuk citra, membangun branding, dan memperkuat posisi sosial seseorang di mata publik.

Namun di balik panggung ini, sering tersembunyi kesunyian makna. Kita jarang bertanya bagaimana perasaan mereka yang direkam. Apakah mereka merasa dihargai atau justru merasa dipermalukan? Apakah bantuan yang mereka terima lebih berat nilainya dibanding beban rasa yang datang bersamanya?

Berbuat baik bukanlah perkara sepele. Ia merupakan pancaran batin yang tulus. Namun saat niat baik itu digunakan untuk membangun citra, nilai moralnya menjadi goyah. Kebaikan berubah menjadi semacam transaksi sosial. Aku membantumu, dan sebagai gantinya aku tampil sebagai sosok baik di hadapan publik.

Padahal, keikhlasan yang tidak diumbar adalah inti dari kebaikan sejati. Ia tidak merasa berkurang hanya karena tidak diketahui orang lain. Justru karena tidak berniat dikenal, kebaikan itu tumbuh dengan lebih jujur. Namun di dunia yang menilai segalanya dari tampilan luar, keikhlasan semacam itu dianggap tidak efisien.

Dulu orang berkata, "Jika kamu ingin memberi, berilah dengan tangan kananmu tanpa diketahui tangan kirimu." Tetapi hari ini, bukan hanya kedua tangan yang tahu, bahkan dunia ikut mencatat, membagikan, dan mengomentari.

Banyak aksi derma yang memang membantu secara nyata. Tidak semua dokumentasi adalah palsu. Namun saat yang ditonjolkan adalah penderitaan orang lain dalam bentuk video dramatis, dengan narasi yang diarahkan agar si pemberi terlihat mulia, maka ada sesuatu yang patut dikritisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun