Oleh: Suardi
Sebelum kita membahas relasi hukum dan kekuasaan, pertama-tama kita perlu mengetahui pengertian hukum itu sendiri.Â
Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutipnya dari Imanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa pengertian hukum.Â
Pengertian tentang hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum, menurutnya sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka memandang.Â
Umumnya, hukum dipandang sebagai norma, yakni norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Namun, jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti hukum identik dengan norma.Â
Norma adalah pedoman manusia dalam tingkah laku. Dengan demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu. Di luar hukum itu terdapat norma-norma lainnya.Â
Purbacaraka dan Soekanto (1989:21) menyebutkan ada empat norma yaitu norma kepercayaan (agama), norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum.Â
Tiga norma saja seperti telah disebutkan tersebut, kenyataannya belum dapat memberikan perlindungan yang memuaskan, sehingga diperlukan norma keempat yaitu norma hukum. Jadi bayangkan jika tidak ada hukum, ada pun rasanya masih jauh dari hukum. Lalu apa penyebabnya,?Â
Menurut Sudiko Mertokusumo (1991:10) penyebabnya yaitu pertama, masih banyak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapatkan perlindungan.
Kedua, kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum cukup terlindungi karena dalam hal pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan.Â
Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung di dunia ini. Demikian pula, kalau norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman.Â