Kedua, perhatian dan keterlibatan krama desa dalam ikut mengawasi penggunaan keuangan desa, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga desa adat dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa dataran sudah mulai terlihat. Ada hubungan simetris antara kesederhanaan prasyaratan prajuru desa dengan kualitas dan kemampuan manajerialnya dalam mengelola sumber-sumber dana desa adat. Namun, kesederhanaan persyaratan prajuru dan sistem seleksi yang dilakukan menyebabkan kesulitan dalam mengelola pemerintahan dan manajemen keuangan desa adat yang semakin kompleks. Apalagi, setelah era reformasi sumber-sumber dana kegiatan desa adat jauh lebih luas daripada desa dinas, dibandingkan dengan era sebelumnya.
Ketiga, budaya demokrasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat desa pegunungan dan dataran telah mewariskan segi-segi berpikir positif yang patut dikembangkan dalam penguatan kehidupan berdemokrasi para politisi dan pejabat publik lainnya. Beberapa diantaranya adalah:  tatas, tetes (kehati-hatian dalam bertindak); tat twam asi (toleransi tanpa menonjolkan perbedaan); paras paros (saling memberi dan menerima pendapat orang lain); salunglung sabayantaka (bersatu teguh bercerai runtuh); merakpak danyuh (perbedaan pendapat tidak menghilangkan persahabatan). Butir-butir budaya demokrasi tersebut merupakan warisan yang telah teruji dalam sejarah dan mempunyai kemampuan yang memadai untuk memecahkan masalah kehidupan masyarakat desa di Bali. Di samping itu, upaya pengembangannya  juga mengandung aspek-aspek pelestarian nilai-nilai kearifan lokal (local genius) yang sangat penting sebagai perjuangan untuk mewujudkan sistem demokrasi Indonesia modern yang berkepribadian komunitas lokal.
Landasan Multikultuturalisme
Â
Penerapan nilai-nilai budaya demokrasi di desa pegunungan dan dataran itu tidak berarti tanpa persoalan. Instrumen yang digunakan oleh desa adat justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasi baru. Kecenderungan Atavisme dan Indigenisme sudah mulai menguat. Atavisme bisa mengarah pada penguatan kembali institusi dan aktor politik masa lalu yang tidak demokratis (feodalisme atau oligarkis). Indigenisme bisa memancing rasisme yang anti pluralisme maupun multikulturalisme (Dwipayana, 2003). Padahal, multikulturalisme menyiratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan ke dalam struktur yang seimbang dimana praktek penghormatan terhadap keberbedaan ditujukan untuk mengatasi masalah 'eksklusivitas' yang dapat memicu konflik etnis, rasial maupun religius.
Dengan berpegang pada pengertian multikulturalisme sebagaimana dijabarkan Fay (2002), tidak sekadar mengajarkan, Â "mengenal, menghargai dan menyambut perbedaan", yang dianggap slogan yang terlalu statis. Tetapi, semua lapisan masyarakat dengan aneka latar belakang suku, agama, ras dan etnis menjadikan "terlibat, mempertanyakan dan mempelajari" agar lebih mampu menangkap sifat dinamis dan sinergis dalam interaksi multikultural yang murni.
Dengan begitu, penerapan nilai-nilai budaya demokrasi tersebut juga perlu diwaspadai agar tidak kontraproduktif dan menimbulkan dampak yang tidak sejalan dengan semangat multikulturalisme, serta penghargaan terhadap perbedaan dalam bingkai negara kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI