Mohon tunggu...
Study Rizal L. Kontu
Study Rizal L. Kontu Mohon Tunggu... Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bidang yang saya geluti terkait dengan filsafat, dakwah, dan civic educatiion.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tabola Bale: Dari Lirik Lokal ke Ruang Publik Nasional

8 September 2025   11:57 Diperbarui: 8 September 2025   11:57 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Joged Tabola Bale (Sumber: Dok. Pribadi)

Lagu Tabola Bale dibuka dengan ungkapan sederhana dari bahasa daerah Nusa Tenggara Timur:

"Lia ade nona makin gaga bikin kaka jadi suka. 

Dulu ade rambu kepang dua sekarang rambu mera mera.

Kaka lia ade tambah manis pulang ranto dari mana. 

Adu ade nona jang talalu pasang gaya depan kaka, kaka jadi jatoh e. 

Kaka tabola bale, lia ade nona e, su makin menyala e, kaka hati susah e. 

Ade bikin kaka mete, tidur malam bola bale, sejak kaka lia ade, aduh Tuhan ampun e".

Lirik itu kemudian dilanjutkan dengan gaya jenaka, bercampur kosakata bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Minang, sehingga memberi kesan cair, segar, dan bersahaja. Bagi pendengarnya, pesan yang ditangkap bukan hanya soal cinta romantis, tetapi juga tentang rasa gembira yang lahir dari keragaman ekspresi budaya.

Ketika lagu ini dinyanyikan di Istana Merdeka pada peringatan HUT RI ke-80, makna yang terkandung dalam liriknya menjelma jauh melampaui pengalaman personal. Suasana sakral yang biasanya penuh tata protokol tiba-tiba berubah menjadi ruang publik yang cair. Presiden, pejabat negara, aparat, hingga tamu undangan tak kuasa menahan diri untuk berjoget. Fenomena ini tidak berhenti di halaman istana, melainkan segera bergulir viral di media sosial, di mana jutaan orang menontonnya, membagikannya, bahkan menirukan gerakannya.

Dalam perspektif komunikasi kritis, peristiwa ini memperlihatkan bagaimana budaya populer bekerja sebagai bahasa politik. Sebuah lagu yang awalnya lahir dari ekspresi lokal anak muda Timur diangkat menjadi simbol kebersamaan nasional. Negara, dengan menampilkan Tabola Bale di jantung kekuasaannya, seolah hendak mengatakan: inilah wajah Indonesia yang bahagia, inklusif, dan penuh energi muda. Namun di balik representasi kebahagiaan itu, kita perlu bertanya: apakah simbol kebersamaan ini sebanding dengan realitas kesejahteraan yang dialami masyarakat Indonesia Timur?

Kekuatan Tabola Bale justru terletak pada kemampuannya menghadirkan identitas lokal ke dalam percakapan nasional. Anak-anak Timur yang selama ini sering dipandang dari pinggiran kini tampil sebagai pusat perhatian. Mereka membuktikan bahwa kreativitas dari daerah bisa menggetarkan istana sekaligus menguasai algoritma media sosial. Tetapi komunikasi kritis mengingatkan bahwa pengakuan simbolik tidak selalu berbanding lurus dengan keadilan struktural. Budaya bisa dirayakan, sementara ketimpangan sosial-ekonomi tetap bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun