Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sentimentalitas vs Relasi yang Terus-Menerus

1 September 2018   06:00 Diperbarui: 1 September 2018   23:50 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mosaiccommunitychurch.net

Saya yakin setiap kita pasti pernah mengalami momen perpisahan. Mungkin kita berpisah dengan anggota keluarga yang kita sayangi, sahabat kita, ataupun juga kekasih kita. Bahkan, ada beberapa lagu yang secara khusus diciptakan untuk momen-momen perpisahan. Teman-teman SMP saya - yang akrab dengan saya - pasti tahu apa lagu kesukaan saya yang bertemakan perpisahan, yang sering sekali saya nyanyikan pada waktu kelas 3 SMP. Ada banyak momen-momen menyedihkan yang terjadi dalam perpisahan. Bagaimanapun, perpisahan itu pasti akan terjadi.

Mungkin kita berpikir bahwa perpisahan adalah tanda dari berakhirnya sebuah relasi. Benarkah demikian? Ketika murid-murid berpisah dengan Tuhan Yesus yang naik ke surga, apakah itu berarti berakhirnya sebuah relasi? Ternyata tidak! Justru itu adalah permulaan dari sebuah relasi yang jauh lebih bermakna. Itulah yang akan kita bahas dalam artikel ini. Teks kita hari ini diambil dari Yohanes 20:11-18.

Saya menduga mungkin kita akan bingung mengapa saya memilih teks ini. Biasanya teks ini identik dengan perayaan Paskah, bukan pada waktu membahas tentang kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Itulah sebabnya saya perlu memberikan sedikit penjelasan mengapa saya mengambil teks ini. Dalam Injil Yohanes, kenaikan Tuhan Yesus tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan-Nya dan dari kematian-Nya. Yohanes menggunakan istilah yang menarik ketika menulis tentang penyaliban Yesus, yaitu “ditinggikan” (3:14; 12:32). Sehingga ketika dituliskan bahwa Yesus pergi kepada Bapa (20:17), ada tiga jalan yang harus Ia lalui: (1) kematian, (2) kebangkitan, dan (3) kenaikan ke surga. Ini semua menjadi satu di dalam Injil Yohanes.

Itulah sebabnya kita tidak menemukan kisah Yesus terangkat ke surga di dalam Injil Yohanes. Karena bagi Yohanes, Yesus bukan dimuliakan pada saat kebangkitan ataupun kenaikan-Nya ke surga, tetapi sejak Ia naik ke atas kayu salib. Inilah konsep teologi Yohanes tentang Yesus yang kembali kepada Bapa. Dengan perspektif seperti itu, saya memang sengaja memilih teks ini untuk membahas kenaikan Tuhan Yesus ke surga.

Melalui artikel ini, ada beberapa poin pembahasan yang perlu kita cermati bersama. Pertama, kita akan membahas betapa Maria Magdalena mengasihi Yesus secara luar biasa. Kedua, kita akan melihat bahwa sebenarnya yang terpenting adalah relasi yang terus-menerus, bukan sentimentalitas, romantisme, atau perasaan yang bergelora.

Sekarang kita akan membahas bagaimana Maria mengasihi Yesus. Di dalam perikop ini, Maria adalah salah satu di antara beberapa perempuan yang juga ditulis pada cerita yang sama di kitab injil lain. Injil Yohanes hanya menyoroti Maria Magdalena. Ia datang ke kubur Yesus sepagi mungkin (20:1). Mungkin kita mempertanyakan keberadaan murid-murid lain yang berjenis kelamin laki-laki dan mengapa hanya ada perempuan yang mengunjungi kubur Yesus. Bahkan, kalau kita membaca perikop ini dengan lebih teliti, kita akan menemukan bahwa para perempuan mengunjungi kubur Yesus pada hari pertama minggu itu (setelah Sabat berakhir) sebagai tanda bahwa mereka sudah tidak tahan untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Yesus. Walaupun harapan para perempuan itu sama dengan harapan para laki-laki dan sama-sama dikecewakan sebab Ia ternyata bukan Mesias seperti yang diharapkan untuk membebaskan Israel secara politis dari penjajahan Romawi, mereka tetap datang ke kubur pagi-pagi benar. Hal ini menunjukkan bahwa seolah-olah mereka sudah tidak sabar menanti waktu Sabat berakhir. Mereka ingin segera mengungkapkan kasih kepada Yesus.

Berikutnya, Maria meratapi mayat Yesus yang dia pikir telah dicuri oleh orang lain (20:13). Kita yang mempelajari sosiologi atau antropologi pasti mengetahui bahwa penguburan mayat adalah budaya yang sangat penting bagi orang-orang kuno. Pencurian mayat adalah sesuatu yang sangat merendahkan orang tersebut. Peristiwa serupa dicatat dalam 1 Samuel 31:9-12 ketika Saul mengalami kekalahan dalam peperangan dengan orang-orang Filistin. Mereka memotong kepala Saul dan meletakkannya di dinding kota untuk diolok-olok dan dihina.

Ketika Maria menyangka bahwa mayat Yesus telah dicuri, kemungkinan besar ia sangat khawatir dengan keberadaan mayat itu. Maria pun menangis (20:11). Hal yang menarik adalah bahwa sikap meratap seperti ini tidak tampak pada Petrus yang sudah melihat bahwa mayat Yesus tidak ada di kuburnya (20:6-10). Artinya, Maria menunjukkan sikap yang sangat mengasihi Yesus.

Bahkan, Maria tidak takut dengan kehadiran malaikat. Pada waktu ia masuk ke kubur itu, ada dua malaikat yang tampak di sana (20:12). Sikap seperti ini berbeda dengan sikap tokoh-tokoh Alkitab lainnya ketika berhadapan dengan malaikat. Mengapa Maria tidak takut? Sebab Maria diliputi oleh kesedihannya karena kehilangan Yesus. Ketika kita mengalami kesedihan yang begitu besar, maka mungkin kesedihan itu akan mengalahkan ketakutan kita. Itulah sebabnya beberapa orang yang kehilangan orang yang dikasihi tanpa sadar telah mengalahkan ketakutannya terhadap kematian dengan berkata, “Lebih baik aku mati saja, daripada kehilangan dirinya.”

Kasih Maria kepada Yesus juga ditunjukkan dari bahasa yang dia pakai. Bahasa yang dipakai Maria di sini adalah bahasa yang menunjukkan intimasi (ayat 13 “Tuhanku”). Bahkan ketika Yesus memanggilnya di ayat 16, Maria langsung sadar bahwa itu adalah Yesus. Dia juga berusaha untuk memegang Yesus walaupun Yesus tidak memperbolehkannya (20:17). Sikap ini sekali lagi menunjukkan bahwa Maria sangat mengasihi Tuhan Yesus. Berdasarkan terjemahan NASB, saya menafsirkan bahwa Maria sebetulnya sudah memegang - bahkan memeluk (cling) - Yesus. Dalam tata bahasa Yunani, pemberian kata “jangan” di depan sebuah larangan yang berbentuk present tense bermakna “berhentilah melakukan sesuatu”.

Lalu, mengapa Yesus melarang Maria untuk memegang Dia? Beberapa penafsir menjelaskan alasannya adalah karena secara fisik, Yesus memang tidak bisa dipegang karena Dia sedang berada dalam tubuh kebangkitan. Tetapi menurut saya penafsiran ini tidak tepat. Mengapa? Sebab penafsiran ini tidak sesuai dengan ayat 27. Bahkan di pasal 21, Yesus makan bersama murid-murid-Nya. Penafsir lain menganggap bahwa Yesus sedang berada dalam keadaan telanjang. Sebab Yesus hanya dibungkus dengan menggunakan kain kafan pada waktu dikuburkan, dan Ia bangkit dengan meninggalkan kain itu di kubur-Nya. Itulah sebabnya Yesus melarang Maria memegang diri-Nya. Penafsiran ini dengan sendirinya terpatahkan oleh kalimat Yesus, “Janganlah memegang Aku”, di mana jika Yesus berada dalam keadaan telanjang seharusnya Ia berkata, “Janganlah melihat Aku”. Lagipula, akan menjadi sangat sulit dibayangkan jika Yesus terus-terusan menampakkan diri dalam keadaan telanjang di perikop-perikop setelah ini. Ini adalah penafsiran yang benar-benar liar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun