Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksposisi 1 Korintus 13:1-3

28 April 2018   22:11 Diperbarui: 21 Juli 2018   16:11 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembahasan tentang kasih di pasal 13 mungkin menimbulkan kesan bahwa Paulus sedang berganti topik dari karunia rohani menjadi kasih. Bagaimanapun, kesan ini akan hilang apabila kita memberi perhatian yang lebih teliti kepada teks. Pemunculan beberapa jenis karunia (bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan) di pasal 13 membuktikan bahwa Paulus tidak sedang beralih ke topik baru. Sebaliknya, ia sedang menguraikan apa yang ia maksud dengan ‘jalan yang lebih utama’ di 12:31, yaitu kasih. Pemunculan kata ‘kasih’ di awal pasal 14 semakin menguatkan dugaan bahwa ada keterkaitan yang erat antara karunia rohani dan kasih.

Gaya penulisan seperti di pasal 13 ini pada zaman dahulu dikenal dengan nama digressio. Dalam gaya sastra ini, seorang penulis menyinggung tentang topik lain yang sekilas sedikit melenceng dari topik utama guna memperjelas atau mengilustrasikan poin yang ingin disampaikan di topik utama. Gaya ini sebelumnya sudah kita pelajari di pasal 9 pada waktu Paulus memaparkan ketidakmauannya menerima tunjangan hidup dari jemaat sebagai ilustrasi konkret bagi poin teologis yang ia ajarkan di pasal 8, yaitu ‘bebas untuk tidak menggunakan kebebasan atau hak kita demi kepentingan orang lain’ (8:9-13).

Tujuan Paulus mengupas keutamaan kasih di 13:1-3 bukan untuk membandingkan antara karunia rohani dan kasih, seolah-olah yang pertama kurang dipentingkan. Dua hal ini – karunia rohani dan kasih – bukan dua pilihan yang harus dipilih salah satu. Sebaliknya, Paulus ingin menunjukkan bahwa penggunaan karunia rohani yang benar harus bersumber dari kasih. Sebuah karunia rohani mungkin berpotensi memberikan manfaat lebih banyak dan lebih langsung kepada jemaat daripada jenis karunia yang lain. Tetapi jika karunia yang lebih bermanfaat itu dipraktikkan tanpa kasih, hal itu menjadi kurang bernilai. Dengan demikian, fokus pembahasan di 13:1-3 bukan pada jenis karunia rohani, melainkan dasar penggunaannya.

Untuk mendaratkan poin di atas secara lebih persuasif, Paulus menggunakan kalimat pengandaian. Masing-masing bagian diawali dengan rangkaian karunia rohani atau kemampuan spiritual tertentu yang tampak spektakuler, lalu diakhiri dengan pernyataan kesia-siaan apabila semua itu tidak dilakukan berdasarkan kasih. Apa yang diandaikan di 13:1-3 dalam taraf tertentu merefleksikan kehidupan dan pelayanan Paulus, karena itu ia sengaja menggunakan kata ganti orang pertama tunggal “aku” di ayat 1-3. Jika ini benar, maka ‘menunjukkan’ di 12:31 bukan hanya ‘mengajarkan’, melainkan memberikan contoh konkret. Jadi, ia bersikap kritis terhadap karunia-karunia rohani bukan karena ia tidak memiliki semua itu dan iri kepada orang lain. Ia tidak kekurangan suatu karunia pun. Tanggapan kritis dari orang yang memiliki apa yang dikritisi akan menjadi sebuah strategi persuasi yang kuat.

Penguasaan semua bahasa tanpa kasih = bunyi yang tanpa arti (ayat 1)

Berbeda dengan strategi sebelumnya ketika Paulus menempatkan karunia bahasa roh pada deretan terakhir (12:8-10, 28-30), kali ini ia sengaja meletakkannya di bagian awal. Perubahan strategi ini tidak berarti perubahan penilaian terhadap karunia ini. Ia justru memindahkan karunia bahasa roh pada tingkat utama untuk sementara waktu (ayat 1a), sesudah itu ia segera memberikan tanggapan negatif apabila karunia itu tidak dipraktikkan berdasarkan kasih (ayat 1b). Ini adalah sebuah retorika yang indah: seolah-olah ditinggikan tetapi dihempaskan ke bawah untuk menunjukkan kontras yang ironis.

Apakah yang dimaksud dengan ‘semua bahasa manusia dan bahasa malaikat’ di ayat ini? Walaupun para penafsir yakin ungkapan tersebut berhubungan dengan bahasa roh, tetapi mereka belum sepakat tentang maksud Paulus di balik ungkapan itu. Secara khusus mereka memperdebatkan arti ‘bahasa malaikat’. Sebagian menganggap hal ini hanya sekadar ungkapan hiperbola untuk menegaskan poin yang ingin disampaikan. Sebagian yang lain meyakini bahwa para malaikat di surga memang memiliki bahasa tertentu (2Kor. 12:1-4).

Beberapa catatan kuno dalam tradisi Yahudi dan Yunani menyinggung tentang bahasa-bahasa khusus yang diucapkan oleh para malaikat. Yang lain menduga bahwa sebagian jemaat Korintus telah meyakini kalau mereka mampu berbahasa roh dalam arti ‘bahasa malaikat’. Dalam hal ini sebuah pilihan yang pasti sulit untuk diambil. Walaupun demikian, kesulitan ini tidak mengaburkan apa yang ingin disampaikan Paulus di sini. Inti yang mau ditekankan adalah sifat spektakuler dari bahasa roh, entah itu berupa bahasa-bahasa manusia (Kis. 2:1-11; bdk. 1Kor. 14:10-11) maupun bahasa-bahasa surgawi yang tidak terpahami oleh manusia (1Kor. 14:2, 13-14).

Berbeda dengan jemaat Korintus yang sangat menggilai bahasa roh dan menjadikan itu sebagai salah satu sumber kesombongan dan perselisihan, Paulus memilih untuk menilai sebuah karunia rohani dalam kaitan dengan kasih. Walaupun ia mampu berbahasa roh (1Kor. 14:15, 18) dan mungkin pernah mendengarkan bahasa malaikat (2Kor. 12:1-4), namun apabila ia tidak memiliki kasih, ia sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (13:1b). Dalam teks Yunani terdapat kata “gegona” (‘aku telah menjadi’). Bentuk perfek menyiratkan dampak atau hasil yang permanen, sedangkan kata ganti ‘aku’ mengindikasikan bahwa yang sedang dipersoalkan adalah diri Paulus, bukan karunia bahasa rohnya. Penekanan pada diri Paulus ini juga terlihat di ayat 2-3 (ayat 2 ‘aku sama sekali tidak berguna’; ayat 3 ‘sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku’). Dengan kata lain, semua karunia rohani adalah baik, karena berasal dari Allah (12:4-7, 11). Bagaimanapun, tidak semuanya secara otomatis memberi dampak yang baik bagi kita, terutama pada waktu kita menggunakannya tanpa kasih.

Penggunaan bahasa roh tanpa disertai kasih akan menjadikan kita gong yang berkumandang (chalkos echon) dan canang yang gemerincing (kymbalon alalazon). Dua metafora ini telah dipahami secara berbeda oleh para penafsir. Ada yang mengaitkannya dengan suasana ritual ibadah untuk dewa Dionisius dan Sibele, para orator yang tidak mampu menjawab pertanyaan atau meladeni pendebat mereka, maupun sistem resonansi atau amplifikasi akustik di teater kuno. Berdasarkan pemunculan alat-alat musik dan nafiri di 14:7-8, inti dari metafora ini mungkin terletak pada bunyi-bunyian yang keras tetapi tanpa makna. Penambahan kata “echon” (berkumandang) dan “alalazon” (gemerincing) yang menyiratkan suara yang ramai turut mendukung penafsiran ini. Walaupun demikian, bagi jemaat Korintus yang sudah terbiasa melihat perayaan ritual kafir di jalan-jalan atau kuil-kuil berhala, metafora di 13:1 sangat mungkin akan mengarahkan pikiran mereka ke sana. Artinya, sama seperti kemeriahan dan keriuhan ibadah kafir adalah sia-sia karena tidak ada Allah dan Tuhan selain Bapa dan Kristus (8:6), demikian pula gong dan canang yang dibunyikan tanpa makna. Begitu juga dengan bahasa roh yang diucapkan tanpa kasih!

Pengetahuan tentang hal-hal ilahi dan iman yang besar tanpa kasih = tidak ada artinya (ay. 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun