Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketekunan Orang-Orang Kudus

3 Februari 2018   21:46 Diperbarui: 19 Agustus 2018   19:29 2076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poin terakhir dari TULIP membahas tentang kepastian keselamatan orang pilihan. Poin ini menegaskan bahwa orang yang sudah selamat pasti akan tetap selamat. Orang Kristen yang sungguh-sungguh dapat mengalami kebimbangan iman atau meninggalkan Tuhan untuk sementara waktu, tetapi dia tidak mungkin murtad sampai hidupnya berakhir pada kebinasaan. Westminster Confession of Faith 17.1 mengajarkan “mereka yang Allah telah terima dalam Anak-Nya yang Terkasih, dipanggil secara efektif dan dikuduskan oleh Roh-Nya tidak dapat jatuh dari anugerah secara total atau final, tetapi secara pasti akan bertahan di dalamnya sampai pada akhirnya dan diselamatkan secara kekal”.

Doktrin di atas merupakan bantahan terhadap pandangan Armenian yang menganggap bahwa keselamatan seseorang bersifat tidak pasti, tergantung pada usaha orang itu untuk hidup dalam keselamatan tersebut. Menurut pandangan Armenian, orang yang sudah lahir baru dan diselamatkan melalui iman kepada kematian Kristus dapat kehilangan imannya sehingga dia binasa. Yang paling penting adalah bagaimana orang yang sudah diselamatkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memelihara keselamatan itu. Kalau dia berubah menjadi tidak setia, maka keselamatannya akan hilang.

Penjelasan istilah

Sebagian teolog Reformed menyadari kekurangtepatan pemakaian istilah “ketekunan orang-orang kudus”. Kesan yang dimunculkan dalam istilah ini lebih mengarah pada usaha-usaha antroposentris (berpusat pada manusia) dalam menjamin keselamatan seseorang, padahal pengertian yang termaktub dalam istilah ini justru menekankan Allah sebagai faktor terpenting dalam kepastian keselamatan orang percaya. Dengan kata lain, yang menentukan kepastian keselamatan orang percaya adalah Allah sendiri.

Berangkat dari pemikiran di atas, para teolog telah mengusulkan beberapa istilah alternatif, misalnya “ketekunan Allah” (perseverance of God) atau “pemeliharaan Allah terhadap orang-orang kudus” (divine providence for the saints). Dari dua istilah ini terlihat dengan jelas bahwa Allahlah yang menjamin keselamatan seseorang. Manusia memang sangat lemah dan cenderung tidak setia, tetapi bagi orang-orang pilihan yang sudah percaya, Allah memberikan topangan khusus sehingga mereka tidak akan pernah kehilangan keselamatan mereka.

Walaupun dua istilah di atas memang lebih tepat mengekspresikan konsep yang ada dalam doktrin ketekunan orang-orang kudus, namun istilah tradisional sebaiknya tetap dipertahankan dengan beberapa pertimbangan. (1) istilah “ketekunan orang-orang kudus” sudah sangat populer; (2) istilah ini dapat meminimalisasi kesalahpahaman dari pihak Armenian yang menganggap orang percaya bersikap pasif (atau bahkan sembarangan) dalam menghidupi keselamatannya. Istilah “ketekunan orang-orang kudus” masih menyiratkan ruang bagi partisipasi manusia dalam menghidupi keselamatan mereka, walaupun usaha manusiawi ini tetap merupakan hasil dari topangan tangan Allah.

Argumen yang mendukung doktrin ketekunan orang-orang kudus

Alkitab memberikan dukungan yang lebih dari cukup bagi doktrin ini. Untuk memudahkan pemahaman, seperti biasa, argumen yang mendukung tersebut akan dibagi menjadi beberapa kelompok: inferensi logis dari doktrin lain, teks-teks yang eksplisit, dan pengalaman rohani.

Inferensi logis dari doktrin lain

Ajaran tentang kepastian keselamatan berkaitan dengan banyak doktrin lain dalam Alkitab. Jika doktrin-doktrin ini diterima, maka kepastian keselamatan orang percaya juga menjadi hal yang tidak terbantahkan. Pertama, pilihan Allah sejak kekal. Dalam pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa pilihan ini tidak didasarkan pra-pengetahuan Allah tentang kebaikan dalam diri orang pilihan. Semua manusia sudah mengalami kerusakan total, sehingga kesalehan manusia pun di mata Allah hanya seperti kain kotor (Yes. 64:6a). Dengan demikian alasan bagi pilihan ini murni terletak dalam diri Allah: kedaulatan dan kebaikan-Nya. Karena Allah tidak berubah, maka pilihan ini juga tidak akan berubah (Mal. 3:6; Ibr. 13:8).

Kita juga sudah mengetahui bahwa Allah bukan hanya memilih, tetapi Dia juga aktif untuk merealisasikan pilihan tersebut melalui rentetan proses keselamatan, misalnya penebusan Kristus dan panggilan efektif. Ketika seseorang mampu memiliki iman yang sejati kepada Kristus, maka hal itu membuktikan bahwa dia adalah orang pilihan yang sudah berada dalam beberapa tahap realisasi rencana kekal Allah. Kalau Allah mampu dan sudah memimpin dia sedemikian jauh sampai dia dimampukan untuk beriman, mengapa Allah yang sama tidak mampu untuk menjaga iman itu sehingga tetap tidak akan gugur? Bukankah Allah yang telah memulai pekerjaan yang baik akan mampu meneruskannya sampai pada hari Kristus Yesus (Flp. 1:6)?

Kedua, penebusan Kristus bagi orang pilihan. Seperti kita ketahui sebelumnya, ketika Kristus mati di atas kayu salib Dia secara aktual telah mencapai tujuan penebusan-Nya, misalnya menebus orang berdosa dan menggantikan hukuman mereka. Seandainya orang yang sudah menerima penebusan Kristus akhirnya dapat binasa dan dihukum kekal, maka Kristus tidak sungguh-sungguh menggantikan hukuman orang itu di atas kayu salib. Seandainya Kristus sudah mengalami siksa neraka bagi orang berdosa di atas kayu salib ketika Dia ditinggalkan oleh Bapa-Nya (Mat. 27:46//Mrk. 15:34), maka orang berdosa tersebut tidak dapat dihukum lagi.

Ketiga, panggilan efektif dalam diri orang percaya. Orang yang mampu beriman kepada Kristus berarti sudah dipanggil secara efektif oleh Roh Kudus. Dalam proses panggilan ini – seperti telah kita pelajari bersama – Allah membangkitkan kita dari keadaan kita yang mati di dalam dosa, menerangi pikiran dan memperbarui kehendak kita sehingga kita dapat menyadari keberdosaan kita dan menginginkan Allah. Orang yang lahir dari Allah seperti ini (band. Yoh. 1:12-13) tidak mungkin akan diperhamba oleh dosa lagi, seperti diajarkan oleh Yohanes di dalam suratnya “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah” (1Yoh. 3:9; band. Rm. 6:1-2, 6, 7, 14).

Keempat, kasih Allah yang besar atas orang berdosa. Alkitab berkali-kali mengajarkan bahwa penebusan Kristus di atas kayu salib merupakan bukti dari kasih Allah yang besar bagi dunia (Yoh. 3:16; Rm. 5:8; 1Yoh. 4:8-10). Paulus secara eksplisit menyatakan bahwa Allah menyatakan kasih-Nya ketika kita masih berdosa (Rm. 5:6-8). Yohanes juga menegaskan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi kita baru kita dapat mengasihi Dia (1Yoh. 4:10). Semua ayat ini menunjukkan bahwa Allah sudah mengasihi kita ketika kita dulu masih menjadi musuh Allah. Sekarang, ketika kita percaya kepada Kristus, kita telah menjadi anak-anak Allah (Rm. 8:15; Gal 4:6). Kalau sebagai musuh saja Allah sangat mengasihi kita dan mau mengorbankan Anak-Nya yang terkasih, masakan sebagai anak-anak-Nya Allah justru membuang kita? Dalam Roma 5:8-9 Paulus berkata, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah”. Dalam Roma 8:31 dikatakan “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Teks-teks yang eksplisit

Kepastian keselamatan orang percaya tidak hanya didukung oleh inferensi dari doktrin-doktrin lain, tetapi juga mendapat dukungan dari teks-teks yang secara eksplisit mengajarkan hal itu. Kelompok teks pertama adalah yang menjelaskan bahwa orang percaya sudah memiliki hidup kekal (Yoh. 3:16, 36; 5:24; 1Yoh. 5:13). Yang perlu diperhatikan dalam ayat-ayat ini adalah bentuk kata kerja present tense yang dipakai untuk kata “beroleh” atau “mempunyai” dan kata sifat “kekal” yang dipakai untuk menerangkan kualitas kehidupan yang dimiliki oleh orang percaya. Bentuk present tense menunjukkan bahwa orang percaya saat ini juga sudah memperoleh hidup kekal. Kata sifat “kekal” mengindikasikan bahwa hidup yang dimiliki tersebut bersifat permanen. Hidup yang dijanjikan bersifat tidak dapat binasa, tidak dapat cemar dan tidak dapat layu (1Pet. 1:3-5). Yesus sendiri berkata bahwa barangsiapa yang makan roti dari surga akan hidup selama-lamanya (Yoh. 6:51). Seandainya kehidupan yang dimiliki orang percaya belum tentu permanen, maka Alkitab tidak akan menyebutnya sebagai hidup kekal.

Kelompok teks kedua berisi pernyataan yang eksplisit bahwa orang yang sudah dipilih tidak mungkin binasa. Yesus mengatakan bahwa domba-domba-Nya tidak mungkin binasa karena tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari Bapa sehingga mampu merebut domba-doba itu dari tangan Bapa (Yoh. 10:27-30). Mereka yang binasa adalah mereka yang sudah ditentukan dari semula untuk binasa (Yoh. 17:12). Pemahaman seperti inilah yang membuat Yesus mampu merespons pengunduran diri pengikut-Nya dengan tenang (Yoh. 6:66). Ia mengatakan bahwa anugerah Allahlah yang memegang peranan penting dalam jaminan kepastian seseorang (Yoh. 6:65). Dia yakin bahwa murid-murid-Nya yang sejati tidak akan meninggalkan Dia. Yohanes 6:67 “kalian tidak ingin pergi bukan?” (NIV/NASB).

Kelompok teks yang lain berhubungan dengan Roh Kudus sebagai jaminan kepastian keselamatan orang percaya. Roh Kudus disebut sebagai meterai maupun jaminan (Ef. 1:13-14; 2Kor. 1:22; 5:5). Pemeteraian ini berlaku sampai akhir jaman (Ef. 4:30). Penggunaan gambaran “meterai” menunjukkan bahwa orang percaya merupakan milik Allah secara sah dan tidak mungkin digagalkan lagi oleh pihak lain. Pemakaian ungkapan “jaminan” (lit. “uang muka”) turut mempertegas status kepemilikan orang percaya. Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa suatu transaksi telah terjadi dan sisanya akan segera diberikan semua secara pasti. 

Kelompok teks berikutnya merujuk pada intervensi Allah dalam menjaga keselamatan orang percaya. Allah tidak ingin dari antara orang yang dipilih-Nya ada yang binasa (Yoh. 6:39). Mereka yang dipilih Allah pasti pada akhirnya akan dimuliakan (Rm. 8:29-30). Mengapa bisa demikian? Tuhan berkuasa menjaga seseorang sehingga dia akan tetap berdiri (Rm. 14:4b). Allah berkuasa memelihara apa yang sudah Dia percayakan kepada kita (2Tim. 1:12). Orang percaya dipelihara dalam kekuatan Allah sampai pada akhir zaman (1Pet. 1:4-5). Allah mengerjakan kemauan dan kemampuan bagi orang itu untuk terus menaati Dia (Flp. 2:13) sehingga pengharapan mereka menjadi sesuatu yang pasti (Ibr. 6:11; 2Pet. 1:10). Allah juga membatasi pencobaan yang dialami orang percaya sehingga tidak melebihi kekuatan mereka dan Allah selalu memberikan jalan keluar dalam setiap pencobaan yang ada (1Kor. 10:13). Ketika orang percaya menghadapi penderitaan duniawi selama menantkan pengharapan kekal (Rm. 8:18-24), Roh Kudus berdoa bagi mereka (Rm. 8:26-27).

Teks yang terakhir berbicara tentang hubungan semua karya Kristus dengan kepastian keselamatan orang percaya. Roma 8:31-39 merupakan perikop yang paling jelas menghubungkan karya Kristus dengan kepastian keselamatan. Tidak ada orang atau sesuatu apapun yang bisa mengalahkan orang percaya (ayat 31, 37). Orang percaya tidak dapat dipisahkan dari kasih Kristus oleh apapun juga (ayat 35-39). Semua ini dapat terjadi atas dasar karya Kristus yang sempurna, dari kematian sampai Dia duduk di sebelah kanan Bapa (ayat 34). Kalau Kristus sudah mati bagi mereka, maka mereka tidak akan dihukum (ayat 33-34a). Kristus juga telah bangkit sebagai bukti bahwa upah dosa – yaitu maut (Rm. 3:23) – telah dikalahkan (1Kor. 15:55). Kristus telah naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa sebagai bukti bahwa Dia telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki-Nya (Mzm. 110:1; 1Kor. 15:25-27; Ef. 1:20-22; Ibr. 2:8). Kristus juga menjadi pembela kita. Bagian akhir dari Roma 8:34 ini seharusnya diterjemahkan “yang juga terus-menerus berdoa bagi kita” (NASB/RSV/NKJV). Kalau Kristus selalu berdoa bagi kita (Ibr. 7:25), maka kita tidak mungkin akan binasa, karena Bapa selalu mendengarkan doa Yesus (Yoh. 11:42).

Pengalaman rohani orang percaya

Argumen ini memang tidak bersifat konklusif, tetapi jika dicermati dengan seksama akan semakin memperkuat keyakinan terhadap kepastian keselamatan kita. Dalam menjalani keselamatan kita seringkali kita berada dalam titik kerohanian yang parah. Kita benar-benar merasa jauh dari Tuhan dan terlalu berdosa. Kita bahkan pernah tidak membaca Alkitab, mendengarkan khotbah atau berdoa selama berminggu-minggu. Dalam keadaan seperti ini secara logika kita pasti akan jatuh dan tidak akan pernah bisa kembali lagi pada Allah (jika keselamatan kita ditentukan oleh usaha kita). Kenyataannya, ketika kita tidak setia Allah ternyata tetap setia (2Tim. 2:13). Ketika orang percaya jatuh, Allah berjanji bahwa orang itu tidak akan tergeletak (Mzm. 37:24). Contoh yang paling jelas adalah penyangkalan Petrus. Dosa Petrus sebenarnya sama buruknya dengan dosa Yudas Iskariot, namun yang membedakan keduanya adalah Petrus sebagai orang pilihan, sedangkan Yudas bukan (Yoh. 6:64, 70-71; 17:12; Kis. 1:16-20). Ketika orang percaya jatuh, Tuhan bersiap mengangkat dia kembali (Luk. 22:32).

Sanggahan dan jawaban

Doktrin ketekunan orang-orang kudus memiliki dukungan Alkitab yang sangat kuat, namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang menerima konsep tersebut. Kalangan Armenian menganggap doktrin ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab maupun kenyataan yang dialami sebagian orang Kristen. Mereka mengajukan empat keberatan utama terhadap doktrin ini.

Peringatan terhadap bahaya kemurtadan

Kalangan Armenian menganggap doktrin jaminan keselamatan tidak sesuai dengan teks-teks tertentu dalam Alkitab yang mengajarkan adanya kemungkinan terjadi kemurtadan. Kemungkinan ini terlihat dari perintah-perintah terhadap bahaya kemurtadan. Yesus memperingatkan murid-murid agar tidak seorang pun menyesatkan mereka (Mat. 24:4). Mereka dinasihati agar terus bertahan, karena hanya mereka yang bertahan sampai akhir akan diselamatkan (Mat. 24:11-13). Paulus juga memberi nasihat kepada jemaat di Kolose agar mereka bertekun dalam iman, tidak goyah dan tidak bergeser dari pengharapan Injil (Kol. 1:21-23a). Bagi mereka yang menganggap diri kuat Paulus memperingatkan mereka untuk berhati-hati supaya tidak jatuh (1Kor. 10:12). Paulus sendiri sangat berhati-hati dalam kehidupan rohaninya supaya dia pada akhirnya tidak ditolak oleh Allah (1Kor. 9:27). Jika orang percaya tidak mungkin murtad, lalu apa gunanya semua peringatan tersebut? Apa gunanya Paulus menguatirkan akhir hidupnya? Bukankah semua itu hanya merupakan sebuah basa-basi?

Selain teks-teks di atas, peringatan yang jauh lebih serius dapat dilihat dalam kitab Ibrani. Penerima surat ini sedang menghadapi penganiayaan dan tekanan dari para pengikut agama Yahudi (Yudaisme). Dalam situasi seperti ini penulisnya menasihatkan supaya mereka tidak terbawa arus kesesatan (2:1). Pasal 3:12-14 secara lebih eksplisit memperingatkan mereka yang disebut “saudara” (baca: orang Kristen, ayat 12) untuk tidak murtad, karena hanya mereka yang bertahan yang akan diselamatkan. Peringatan yang paling serius dan sering dipakai oleh orang Armenian untuk menyanggah doktrin ketekunan orang-orang kudus terdapat dalam Ibrani 6:4-6. Peringatan serupa juga diberikan lagi di pasal 10:26-27. Dalam dua teks terakhir ini terlihat bahwa orang yang sudah pernah mengalami karya Roh Kudus dalam hatinya – misalnya diterangi hatinya, mendapat karunia rohani, memperoleh pengetahuan tentang kebenaran – ternyata dapat menjadi murtad dan binasa.

Bagaimana kita merespons sanggahan ini? Apakah benar orang percaya memang ada kemungkinan menjadi murtad? Jika ya, bagaimana kita mengharmonisasikan teks-teks tersebut dengan teks-teks lain yang mendukung doktrin ketekunan orang-orang kudus? Jika tidak, bagaimana kita seharusnya memahami teks-teks tersebut di atas?

Untuk menjawab sanggahan di atas, saya akan membagi jawaban menjadi dua bagian: jawaban secara umum dan jawaban khusus terhadap Ibrani 6:4-6. Pertama-tama mari kita melihat jawaban yang bersifat umum lebih dahulu. Semua peringatan dan nasihat di atas tidak bertentangan dengan doktrin ketekunan orang-orang kudus. Semua itu merupakan alat yang dipakai Allah untuk memastikan bahwa orang yang sudah percaya tidak akan murtad (Erickson, Christian Theology, 1005). Seperti sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, keselamatan memang anugerah Allah, tetapi hal itu tidak berarti bahwa setelah diselamatkan seseorang hanya perlu berdiam diri saja. Dia harus melibatkan diri dalam ketaatan, sekalipun kemauan dan kemampuan untuk itu tetap berasal dari Allah (Flp. 2:13). Di sinilah berbagai nasihat dan peringatan – bahkan yang sangat serius sekalipun – perlu diberikan supaya orang itu diberi kemampuan melalui firman Allah untuk bertahan dalam anugerah.

Jawaban di atas dapat dijelaskan dengan sebuah ilustrasi sebagai berikut. Seorang ayah yang khawatir kalau anaknya berlari ke jalan dan ditabrak oleh sebuah mobil dapat melakukan dua hal untuk mencegah hal itu terjadi. Dia dapat mendirikan pagar yang cukup tinggi dan tidak mungkin dapat dipanjat oleh anak kecil. Jika ini yang dilakukan, maka si anak tidak perlu diberi peringatan apapun, karena peringatan tersebut tidak berguna sama sekali. Cara kedua yang dapat dilakukan si ayah untuk menjamin keselamatan anaknya adalah dengan terus-menerus memperingatkan anaknya tentang bahaya menyeberang jalanan yang ramai bagi seorang anak kecil sambil dia menempatkan seorang satpam di depan pintu pagar untuk menjaga apakah anak itu mematuhi peringatan tersebut. Dari dua analogi ini, yang terakhir lebih tepat menggambarkan konsep jaminan keselamatan orang percaya. Allah menjamin keselamatan kita bukan dengan cara menghilangkan kemungkinan untuk murtad, tetapi melalui berbagai cara untuk memastikan bahwa kemungkinan itu tidak akan terjadi.

Sekarang mari kita selidiki Ibrani 6:4-6 secara lebih teliti untuk mengetahui apakah orang yang dimaksud dalam teks ini adalah orang yang sudah sungguh-sungguh percaya dan apakah ada kemungkinan bagi dia untuk murtad. Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa semua berkat di ayat 4-5 tidak dapat diidentikkan dengan berkat keselamatan atau berkat-berkat yang menyertai keselamatan.

Berikut ini adalah beberapa argumen yang mendukung pandangan tersebut. Pertama, ungkapan-ungkapan yang dipakai di ayat 4-5 dapat ditafsirkan dalam banyak cara, sehingga pedoman utama kita adalah penyelidikan konteks.

Kata  “diterangi” – dari kata dasar “fwtizw” – tidak selalu berarti “mendengar dan percaya pada Injil”, walaupun pemunculan kata ini di Ibrani 10:32 dan 2Korintus 4:4, 6 sekilas tampak mendukung ke arah itu. Kata “fwtizw” muncul 11 kali di PB dan bisa merujuk pada tindakan menerangi secara umum yang tidak berhubungan dengan pertobatan atau penerimaan Injil (Luk. 11:36; Yoh. 1:9; 1Kor. 4:5; Ef. 1:18). Dari sekian ayat ini, Yohanes 1:9 mungkin paling penting untuk diperhatikan karena dalam ayat ini dunia juga sudah mendapat terang, tetapi tidak semua menerima terang itu (Yoh. 1:10; 3:19).

Kata “pernah” (apax) tidak selalu merujuk pada peristiwa yang terjadi sekali, sehingga kata ini tidak dapat dipakai untuk mendukung pandangan bahwa “pernah diterangi” berarti “bertobat” atau “menerima Injil”. Di Ibrani 9:26-28 kata ini memang memiliki arti sekali untuk selamanya, tetapi di Ibrani 9:7 kata ini tidak memiliki arti seperti itu. Pemunculan lain di Filipi 4:16 menunjuk pada tindakan yang dapat diulang.

Kata “mengecap” (geuomai) tidak selalu berarti bahwa apa yang dikecap selanjutnya secara permanen akan dimiliki atau diterima. Kata ini hanya menunjukkan tindakan yang sementara. Yesus memang sungguh-sungguh mati (Ibr. 2:9 “mengalami [geuomai] maut”), tetapi ungkapan ini hanya menekankan aspek kesementaraan dari kematian Yesus. Kata ini dipakai ketika Yesus mencicipi (sungguh-sungguh mencicipi, geuomai) anggur asam, tetapi Dia akhirnya tidak mau meminum anggur itu (Mat. 27:34). Pemimpin pesta di Kana juga mencicipi (geuomai) anggur tetapi tidak ada keterangan yang jelas apakah dia akhirnya menghabiskan seluruh anggur di gayung tersebut. Paralel yang paling jelas terdapat dalam tulisan Josephus (Jewish War 2.158) ketika dia menceritakan kaum Essenes yang “tanpa bisa ditolak menarik semua yang pernah mencicipi (tois apax geusamenois) ajaran mereka”. Sesuai konteks tulisan Josephus, “pernah mencicipi” di sini tidak berarti bahwa orang-orang itu menerima ajaran Essenes dan turut berpola hidup seperti Essenes. Ungkapan ini hanya berarti “tertarik”, tetapi tanpa indikasi bahwa mereka membuat hal itu sebagai miliki mereka secara permanen.

Ungkapan “karunia surgawi” (h dwrea ths apouraniou) dalam PB hanya muncul sekali di Ibrani 6:4, sehingga kita tidak dapat memastikan apa arti dari ungkapan ini secara pasti. Karena kata “dwrea” sering dipakai untuk menunjuk pada Roh Kudus (Kis. 2:38; 8:20; 10:45; 11:17) dan Roh Kudus sendiri memang datang dari surga (Kis. 2:33; 1Pet. 1:12), maka ungkapan “karunia surgawi” sangat mungkin merujuk pada pengalaman tertentu yang dikerjakan oleh Roh Kudus, tetapi tidak selalu berarti pengalaman yang menyelamatkan. Pengalaman ini dapat berupa otoritas untuk mengusir roh-roh jahat (Mat. 12:28) atau kesembuhan (Luk. 4:14, 40; 1Kor. 12:9). Semua pengalaman ini tidak serta merta menyelamatkan, karena karya Roh Kudus dalam kasus-kasus seperti ini dapat ditolak (Kis. 7:51), bahkan disangkal (Mat. 12:31).

Ungkapan “mendapat bagian (metochos) dalam Roh Kudus” tidak selalu berarti mengalami karya Roh Kudus yang menyelamatkan, misalnya kelahiran kembali. Kata menunjuk pada teman (Ibr. 1:9; band. Luk. 5:7; Ef. 5:7), sehingga metocos sebaiknya dipahami “seseorang yang berpartisipasi atau mengambil bagian dalam sesuatu bersama dengan pihak lain”. Dari arti ini terlihat bahwa  “mendapat bagian dalam Roh Kudus” tidak mungkin berarti “memiliki sesuatu yang menjadi natur/hakikat Roh Kudus” (karena metocos tidak berarti “mengambil bagian dari pihak lain” dan Roh tidak dapat dibagi-bagi). “Mendapat bagian dalam Roh Kudus” sebaiknya dimengerti sebagai “merasakan karya Roh Kudus”.

Kedua, situasi di ayat 4-6 tidak boleh dipisahkan dari ayat 7-8 yang merupakan ilustrasi dari bagian tersebut. Di ayat 7-8 dijelaskan tentang tanah yang menerima hujan yang sama tetapi memberi hasil yang berbeda: tumbuhan yang berguna dan semak duri. Dua jenis tanah ini sama-sama menerima hujan secara terus-menerus (merujuk pada berkat-berkat rohani di ayat 4-5), tetapi ternyata memberi hasil yang berbeda. Dari ilustrasi ini terlihat bahwa pemberian hujan secara an sich (pada dirinya sendiri) tidak dapat dijadikan patokan untuk mengetahui kualitas tanah tersebut. Kualitas kedua tanah justru akan semakin terlihat setelah menerima hujan yang cukup banyak. Jadi, ayat 7-8 tidak berbicara tentang satu jenis tanah yang memberikan buah yang banyak tetapi kemudian menghasilkan semak duri. Teks ini berbicara tentang tanah yang memberi respon berbeda terhadap hujan yang sama.

Ketiga, penulis kitab Ibrani meyakini bahwa penerima suratnya telah memiliki hal-hal (jamak, kontra LAI:TB) yang lebih baik yang mengandung keselamatan (ayat 9). Hal-hal yang baik di ayat ini jelas harus dikontraskan dengan hal-hal di ayat 4-5. Jika hal-hal yang lebih baik di ayat 9 mengandung keselamatan, maka hal-hal di di ayat 4-5 pada dirinya sendiri tidak secara otomatis mengandung keselamatan. Selanjutnya di ayat 10-12 penulis kitab Ibrani menyebutkan hal-hal yang lebih baik yang mengandng keselamatan, yaitu pekerjaan, kasih, pelayanan, kesetiaan, pengharapan yang pasti, iman, ketekunan, dan warisan janji-janji Allah.

Keempat, penulis kitab Ibrani di bagian lain menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengandung keselamatan yang berbeda dengan ungkapan yang dia pakai di Ibrani 6:4-5. Ungkapan tersebut antara lain: Allah telah mengampuni dosa mereka (10:17; 8:12), memurnikan hati nurani mereka (9:14; 10:22), menuliskan hukum-hukum-Nya dalam hati mereka (8:10; 10:16), mengerjakan kekudusan hidup dalam diri mereka (2:11; 10:14; 13:21), memberikan kerajaan yang tidak tergoyahkan (12:28), berkenan kepada mereka (13:16, 21), mereka memiliki iman (4:3; 6:12; 10:22,38,39; 12:2; 13:7), mereka memiliki pengharapan (6:11,18; 7:19; 10:23), memiliki kasih (6:10; 10:33-34; 13:1), menaati Allah (5:9; 10:36; 12:10,11,14), dan bertekun (3:6,14; 6:11; 10:23).

Terakhir, penulis kitab Ibrani di bagian lain justru mengajarkan kepastian keselamatan orang percaya. Orang percaya sudah mendapat bagian dalam Kristus, walaupun hal ini baru akan dibuktikan (bukan dicapai) melalui ketekunan mereka (3:6, 14). Mereka dikuduskan sekali oleh darah Kristus supaya kudus selama-lamanya (10:14). Allah melengkapi dengan segala sesuatu yang baik untuk menaati kehendak-Nya dengan cara mengerjakan di dalam diri kita apa yang berkenan kepada-Nya (13:20-21). Teks terakhir ini menunjukkan bahwa ketaatan kita merupakan pekerjaan Allah di dalam kita (band. Flp. 2:13).

Pengalaman hidup orang-orang Kristen yang murtad

Sanggahan kedua yang sering diajukan pihak Armenian didasarkan pada pengalaman sebagian orang Kristen yang pada akhirnya meninggalkan iman mereka. Pengalaman ini dapat dilihat dari beberapa contoh di Alkitab maupun orang-orang di sekitar kita. Contoh dalam Alkitab mencakup Raja Saul yang akhirnya ditolak oleh Allah (1Sam. 15:23b) dan yang mengakhiri hidupnya dengan tragis (1Sam. 31:1-4), Yudas Iskariot yang termasuk 12 rasul dan mengadakan mukjizat (band. Mat. 10:1; Luk. 10:17), Ananias dan Safira (Kis. 5:1-11), Himeneus dan Aleksander yang menolak hati nurani yang murni (1Tim. 1:19-20), Himeneus dan Filetus yang menyimpang dari kebenaran (2Tim. 2:17-18), Demas (2Tim. 4:10), guru-guru palsu yang menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka (2Pet. 2:1-2).

Bagaimana menjelaskan fenomena di atas? Apakah fakta tersebut membuktikan bahwa keselamatan orang Kristen dapat hilang? Jawabannya adalah tidak! Kita perlu lebih berhati-hati menilai kesungguhan pertobatan seseorang. Rasul Yohanes memperingatkan adanya orang-orang tertentu yang termasuk dalam lingkungan orang percaya tetapi dia tidak sungguh percaya (1Yoh. 2:18-19). Yesus bahkan mengatakan bahwa pada akhir zaman akan ada orang-orang yang ditolak-Nya, sekalipun mereka telah bernubuat, mengadakan mukjizat dan mengusir setan demi nama Tuhan (Mat. 7:21-23), karena mereka adalah para nabi palsu (Mat. 7:15) yang tidak menunjukkan buah pertobatan (Mat. 7:16-20). Sebagaimana iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang, demikian pula para pengikutnya dapat mengelabui mata orang (2Kor. 11:14). Di ladang Allah terdapat lalang dan gandum yang untuk sementara waktu sulit untuk dibedakan oleh orang awam dan Tuhan memang menghendaki hal itu sampai penghakiman tiba (Mat. 13:24-30). Ada orang yang secara lahiriah tampaknya saleh dalam ibadah tetapi mereka tidak sungguh-sungguh berbadah (2Tim. 3:5), munafik (Mat. 6:1-16; 23:13-36) atau memiliki motivasi ibadah yang keliru (1Tim. 6:3-10). Dengan pemahaman seperti ini, sekarang marilah kita menyelidiki contoh-contoh Alkitab di atas.

Saul. Alkitab tidak pernah memberikan indikasi bahwa Saul telah mengalami karya keselamatan dari Allah. Dia memang diurapi (1Sam. 9:17-10:1) dan pernah melakukan aktivitas kenabian (1Sam. 10:10), tetapi hal itu merupakan bagian dari Tuhan mempersiapkan dia menjadi raja untuk membebaskan bangsa Israel dari tangan orang Filistin (1Sam. 9:16). Dipakai Allah dalam pekerjaan-Nya tidak membuktikan bahwa orang itu diselamatkan. Tuhan seringkali memakai orang fasik untuk menggenapi rencana-Nya, misalnya bangsa Babel (Hab. 1:6-11) dan Raja Koresh (2Taw. 36:22; Ez. 1:1; Yes. 44:28; 45:13). Koresh bahkan disebut sebagai orang yang diurapi Tuhan (Yes. 45:1).

Yudas Iskariot. Yudas memang dipilih oleh Tuhan sebagai salah satu rasul. Dia juga diberi kepercayaan untuk mengurusi dana pelayanan Yesus (Yoh. 12:6) maupun otoritas untuk mengadakan mukjizat serta mengusir setan (Mat. 10:1; Luk. 10:17). Bagaimanapun, Alkitab secara jelas dan berulang-kali menjelaskan bahwa Yudas bukanlah orang pilihan (Yoh. 6:64, 70-71; 17:12; Kis. 1:16-20). Kebiasaannya mencuri uang (Yoh. 12:6) dan motivasinya menjual Yesus yang juga karena masalah uang (Mat. 26:15) menunjukkan bahwa dia masih hidup di dalam dosa.

Ananias dan Safira. Dua tokoh ini hanya muncul sekali dalam Alkitab (Kis. 5:11). Dari pemunculan sekilas ini terlihat bahwa mereka bukanlah orang percaya yang sungguh-sungguh percaya. Mereka dikontraskan dengan Barnabas yang memberi dengan penuh kesungguhan dan memberi penghiburan bagi orang lain (Kis. 4:36-37). Hati mereka dikuasai oleh iblis (Kis. 5:3), sehingga mereka merencanakan dalam hati mereka (Kis. 5:4) untuk mendustai dan mencobai Tuhan (Kis. 5:3-4). Tindakan mereka “menahan” (nosfizw) sebagin dari hasil penjualan (Kis. 5:2) disamakan dengan tindakan Akhan yang mencuri bagian yang sudah ditetapkan untuk Tuhan (Hak. 7:1-26). Jika mereka bukan orang Kristen sejati, mengapa mereka rela memberikan harta mereka untuk orang lain? Ada banyak kemungkinan jawaban. Mereka mungkin sekedar terbawa emosi dan kekaguman terhadap gaya hidup orang Kristen. Mereka berusaha mencari keuntungan melalui tindakan tersebut, misalnya pengakuan dari orang lain dan nama baik. Kita juga perlu mengetahui bahwa pada zaman itu orang-orang Yahudi sudah mengenal gaya hidup komunal masyarakat Qumran di sekitar Laut Mati yang juga berbagi harta kekayaan.

Himeneus dan Aleksander. Berkaitan dengan dua orang ini kita tidak memperoleh indikasi yang cukup untuk menilai kesungguhan pertobatan mereka maupun akhir hidup mereka. Ungkapan “kandas” (nauagew) di 1Timotius 1:19 juga tidak terlalu jelas. Kata ini di tempat lain dipakai untuk kapal yang karam (2Kor. 11:25). Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah iman yang karam masih dapat digunakan lagi atau tidak. Jika “diserahkan kepada iblis” di 1Timotius 1:20 sama artinya dengan yang di 1 Korintus 5:5, maka dua orang ini kemungkinan besar sudah diselamatkan tetapi mereka untuk sementara waktu jatuh ke dalam dosa. Jika Aleksander di sini sama dengan Aleksander di 2 Timotius 4:14-15, maka Aleksander kemungkinan besar adalah orang yang tidak sungguh-sungguh bertobat.

Himeneus dan Filetus. Tidak banyak yang dapat kita ketahui dari dua orang ini selain mereka telah menyimpang dari kebenaran (2Tim. 2:17-18). Berdasarkan kontras dengan orang Kristen sejati di ayat 19 (“Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya”) dan ilustrasi di ayat 20-21 (ada dua macam perabot dalam sebuah rumah besar) kita dapat menyimpulkan bahwa keduanya sangat mungkin bukanlah orang percaya yang sungguh-sungguh. Dugaan ini juga didukung dengan pemakaian kata “menyimpang” (astocew) yang juga dipakai di 1 Timotius 1:6 untuk orang-orang yang tidak mengetahui Taurat (1Tim. 1:7).

Demas. Nama Demas muncul tiga kali dalam PB (Kol. 4:14; 2Tim. 4:10; Flm. 1:24). Dari minimnya rujukan tentang Demas kita tidak mungkin mengetahui apakah dia seorang Kristen sejati atau tidak. Sayangnya, dari 2 Timotius 4:10 kita juga tidak bisa memastikan apakah Demas meninggalkan iman atau sekedar kemitraan dalam pelayanan bersama Paulus (sama seperti yang dilakukan oleh Markus di Kisah Rasul 15:37-38). Konteks tampaknya mendukung alternatif kedua (Demas mungkin memilih tempat pelayanan lain yang secara manusia lebih menyenangkan). Seandainya dia memag meninggalkan iman, kita tetap tidak bisa mengetahui apakah dia pada akhirnya kembali kepada iman tersebut.

Dalam beberapa kasus kemurtadan, selain perlu menguji kesungguhan pertobatan seseorang, kita juga perlu memperhatikan akhir hidup mereka. Doktrin ketekunan orang-orang kudus tidak mengajarkan bahwa orang Kristen yang sungguh-sungguh akan kebal terhadap dosa atau tidak pernah mengalami kekeringan secara rohani. Alkitab bahkan memberi beberapa contoh tentang kejatuhan orang percaya yang tergolong sangat rusak. Daud melakukan perzinahan, pencurian, kebohongan dan pembunuhan sekaligus dan semuanya sudah dia rencanakan (1Sam. 11-12). Petrus menyangkal Yesus sampai tiga kali (Mat. 26:75).

Yang membedakan orang percaya sejati dari orang lain adalah kesementaraan kejatuhan tersebut (bukan hidup di dalam dosa) dan alasan kejatuhan yang disebabkan kelemahan mereka (bukan sengaja menganggap suatu dosa sebagai sesuatu yang baik). Charles Spurgeon menggambarkan kehidupan rohani orang percaya seperti orang yang berada di dek sebuah kapal dengan pagar yang cukup tinggi. Dia mungkin jatuh beberapa kali di atas dek tersebut karena hempasan ombak yang cukup kuat, tetapi dia tidak akan pernah jatuh ke dalam laut. Dia akan tetap berada di dek itu.

Ketekunan orang-orang kudus mendorong orang berbuat dosa

Sanggahan terakhir yang diberikan oleh pihak Armenian berhubungan dengan ekses negatif yang mungkin timbul dari doktrin ketekunan orang-orang kudus. Konsep tentang jaminan keselamatan orang percaya dianggap mendorong orang untuk tidak hidup dalam kekudusan dan menganggap remeh dosa. Jika sekali selamat tetap selamat, maka mereka menganggap bahwa kita boleh berbuat dosa semau kita, karena hal itu tidak akan mempengaruhi keselamatan kita.

Sanggahan ini sebenarnya lebih banyak disebabkan ketidaktahuan terhadap doktrin ketekunan orang-orang kudus yang diajarkan oleh teolog Reformed. Doktrin ini sama sekali tidak mengajarkan gaya hidup yang permisif terhadap dosa. Kita perlu menegaskan lagi bahwa doktrin ini didahului dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Panggilan ini adalah panggilan yang kudus (1Tim. 1:9) dan memiliki tujuan bukan hanya keselamatan seseorang, tetapi kekudusan hidup dan kesempurnaan karakter Kristiani (Ef. 1:4). Orang yang menganggap diri dipilih Allah tetapi hidup di dalam dosa berarti dia tidak memahami arti pilhan tersebut.

Doktrin ketekunan orang-orang kudus juga didahului dengan doktrin panggilan efektif (anugerah yang tidak dapat ditolak) yang mengajarkan tentang karya internal Roh Kudus dalam diri orang berdosa. Orang yang sudah mengalami karya ini tidak mungkin lagi dikuasai oleh dosa (Rm. 6:14). Jika ada orang yang mengaku sudah mengaami panggilan efektif tetapi masih mencintai dosa, maka orang itu sudah sepatutnya dihukum (Rm. 3:8b).

Lebih jauh, pemuliaan orang Kristen merupakan sebuah proses yang panjang. Keselamatan memang sudah diberikan pada saat seseorang percaya kepada Yesus Kristus dengan sungguh-sungguh, namun keselamatan itu bukanlah sebuah titik. Ini merupakan bagian awal dari sebuah garis panjang yang berujung pada pemuliaan orang percaya. Di dalam garis inilah orang Kristen terlibat di dalamnya melalui ketaatan mereka untuk hidup dalam kekudusan. John Piper mengatakan “election is unconditional, but glorification is not”. Pernyataan ini tidak berarti bahwa pemuliaan bukan merupakan anugerah Allah. Pernyataan ini hanya mengajarkan bahwa dalam kasus predestinasi orang percaya sama sekali tidak berpartisipasi di dalamnya, tetapi dalam kasus pemuliaan mereka harus berjuang untuk mewujudkannya. Mereka harus mengerjakan keselamatan mereka (Flp. 2:12, versi Inggris “work out your salvation”, bukan “work for your salvation”). Ibrani 3:14 mengajarkan “Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula”. Kata “telah” dan “asal saja” di ayat ini menunjukkan kepastian sekaligus perjuangan orang percaya.

Manfaat doktrin ketekunan orang-orang kudus

  • Orang percaya mendapatkan kepastian tentang keselamatan mereka, sekalipun mereka dalam waktu-waktu tertentu bisa lemah, bahkan jatuh ke dalam dosa. Kita kadangkala merasa tidak layak dikasihi oleh Tuhan karena berkalikali jatuh ke dalam dosa. Dalam situasi seperti ini kita perlu menyadari bahwa Allah selalu siap menopang kita setiap kali kita jatuh dan menjamin keselamatan kita.
  • Orang percaya akan kuat menghadapi godaan dosa karena Allah terus mengerjakan kemauan dan kemampuan dalam diri mereka. Kita seringkali putus asa dengan dosa tertentu yang menjadi kelemahan kita. Keputusasaan ini dapat membuat kita bersikap skeptis dan akhirnya malah menjeburkan diri dalam dosa. Bagaimanapun, sebagai orang percaya yang sudah diselamatkan, kita akan diberi kekuatan untu menang.
  • Orang percaya tidak perlu khawatir dengan segala macam hal di masa depan yang dapat mengancam iman kita, misalnya penganiayaan, penderitaan dan ajaran sesat. Tuhan akan menjaga kita sehingga kita tidak mungkin terpisah dari kasih Kristus (Rm. 8:31-29).
  • Orang percaya lebih rendah hati. Kesombongan rohani merupakan bahaya besar yang sering muncul. Kita mengangap diri lebih rohani daripada orang lain. Dengan menyadari bahwa kemauan dan kemampuan untuk taat kepada Allah berasal dari Allah sendiri kita akan terhindar dari sikap sombong.
  • Orang percaya mendapat penghiburan ketika melihat orang yang mereka kasihi berada dalam dosa atau kesesatan. Jika dia adalah orang Kristen yang sejati, maka dia nanti akan kembali lagi. Jika dia bukan orang Kristen yang sungguh-sungguh, maka dia “berhak” melakukan semua perbuatan tercela tersebut, karena pedoman hidupnya memang bukan Alkitab. Kita hanya perlu memberitakan Injil terus menerus dan memberi teladan Kristiani yang baik serta menyerahkan pertobatannya ke dalam tangan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun