Kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat, menjadi sorotan tajam masyarakat dan menyentuh isu yang lebih besar tentang etika medis yang selama ini kurang mendapatkan perhatian serius. Dokter yang seharusnya menjadi tempat kepercayaan dan perlindungan bagi pasien, justru mengkhianati kepercayaan itu dengan tindakan yang tidak hanya melanggar kode etik medis, tetapi juga merusak integritas profesi kedokteran itu sendiri.
Kasus ini bermula dengan laporan seorang pasien berinisial AED yang mengaku telah dilecehkan secara seksual oleh dokter MSF saat pemeriksaan USG di kliniknya. Tindakan ini kemudian terungkap lebih luas setelah beredarnya video yang menunjukkan perilaku tidak profesional MSF, di mana ia terlihat tidak hanya melakukan pemeriksaan medis, tetapi juga meraba bagian tubuh pasien di luar batas kewajaran. Tidak berhenti di satu korban, semakin banyak wanita yang berani angkat suara, menceritakan pengalaman mereka sebagai korban pelecehan seksual oleh MSF.
Kepercayaan yang Terkoyak
Kepercayaan adalah fondasi dalam hubungan dokter-pasien. Pasien datang dengan harapan akan diperlakukan secara profesional, dengan rasa aman dan privasi yang terjaga. Dalam kasus ini, MSF telah menghancurkan kepercayaan itu. Perilaku cabul yang dilakukan MSF di ruang pemeriksaan bukan hanya melanggar etika medis, tetapi juga merusak hubungan antara tenaga medis dan pasien, serta menciptakan trauma mendalam bagi korban.
Lebih dari itu, kasus ini membuka celah bagi pertanyaan penting yang jarang mendapat perhatian: siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan praktik medis di lapangan? Klinik Karya Harsa, tempat kejadian berlangsung, seharusnya memiliki mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis mereka. Kealpaan pihak klinik dalam memastikan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dan pengawasan yang memadai turut berkontribusi dalam terjadinya tindak kekerasan seksual ini.
Etika Medis yang Terlupakan
Etika kedokteran adalah kompas moral yang harus dipegang teguh oleh setiap profesional medis. Namun, dalam praktiknya, etika ini sering kali hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang memadai. Dalam dunia medis, terdapat kode etik yang mengatur batasan-batasan dalam interaksi antara dokter dan pasien. Salah satunya adalah prinsip "do no harm", yang menekankan bahwa dokter harus menghindari segala bentuk tindakan yang dapat merugikan pasien, baik fisik maupun psikologis. Namun, kasus pelecehan seksual ini jelas menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip dasar ini.
Ironisnya, meskipun kode etik kedokteran sudah jelas, pelaksanaan etika tersebut di lapangan tidak selalu sejalan dengan harapan. Dalam banyak kasus, pasien seringkali merasa terintimidasi oleh posisi yang lebih rendah dibandingkan tenaga medis. Mereka khawatir jika mengungkapkan ketidaknyamanan akan dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan atau bahkan menghambat proses pengobatan. Hal ini diperburuk dengan minimnya edukasi yang diberikan kepada pasien mengenai hak-hak mereka dalam menerima perawatan medis yang aman dan bebas dari kekerasan.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Kasus ini tidak hanya mengungkapkan pelanggaran etika oleh seorang tenaga medis, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem medis yang ada sering kali tidak memberikan ruang bagi korban untuk bersuara dan mendapatkan keadilan. Banyak korban pelecehan seksual oleh petugas medis yang merasa takut atau malu untuk melapor. Mereka tidak hanya dihadapkan pada trauma fisik dan psikologis akibat pelecehan, tetapi juga harus berjuang melawan sistem yang terkadang cenderung menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi dalam praktik medis.
Salah satu masalah utama dalam kasus ini adalah kurangnya sosialisasi mengenai hak-hak pasien dan etika yang harus dipatuhi oleh tenaga medis. Pada banyak kesempatan, masyarakat tidak diberikan edukasi yang cukup mengenai bagaimana cara melaporkan tindakan medis yang melanggar etika, atau bahkan tindakan pelecehan yang terjadi di ruang pemeriksaan. Banyak pasien yang merasa bingung mengenai jalur hukum yang bisa mereka tempuh, dan siapa yang dapat mereka hubungi jika mereka merasa dirugikan oleh tenaga medis.
Sementara itu, pihak berwenang seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Kesehatan seharusnya tidak hanya memberikan klarifikasi terkait pelanggaran kode etik, tetapi juga perlu lebih aktif dalam melakukan pemantauan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam ini. Tidak cukup hanya dengan menunggu laporan atau reaksi dari korban, namun perlu adanya sistem pengawasan yang lebih ketat dan transparan.
Apa yang Harus Dilakukan Konsumen yang Dirugikan?
Bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan medis yang tidak profesional, penting untuk memahami hak-hak mereka. Mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di fasilitas medis, edukasi tentang prosedur pelaporan sangat penting. Konsumen layanan kesehatan harus diajarkan cara mengenali tanda-tanda pelecehan seksual dalam konteks medis, serta langkah-langkah yang dapat mereka ambil untuk melindungi diri mereka.
Pertama, korban pelecehan seksual harus segera mencari dukungan, baik dari keluarga, teman, atau psikolog yang dapat membantu mereka untuk memulihkan diri dari trauma. Selanjutnya, korban dapat melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwenang, baik melalui kepolisian maupun lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan profesi medis. Di samping itu, rumah sakit atau klinik tempat kejadian dapat dimintai pertanggungjawaban terkait kelalaian dalam pengawasan praktik medis.
Selain itu, korban juga berhak untuk melaporkan kejadian tersebut kepada asosiasi profesi terkait, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang memiliki peran penting dalam mengawasi dan memberikan sanksi kepada dokter yang melakukan pelanggaran etik. Namun, langkah-langkah ini harus didorong oleh adanya sistem hukum yang mendukung dan memberikan perlindungan maksimal bagi korban.
Menuntut Pembenahan dalam Sistem Edukasi Etika Medis
Penting untuk menyoroti bahwa pendidikan mengenai etika medis, terutama yang berhubungan dengan perlindungan terhadap pasien, perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kedokteran secara lebih mendalam. Selain itu, penguatan standar operasional prosedur (SOP) di klinik-klinik dan rumah sakit juga sangat penting untuk menghindari terjadinya kejadian serupa di masa depan.
Sebagai masyarakat, kita harus terus menggugat adanya perubahan nyata dalam sistem pelayanan kesehatan. Tidak cukup hanya dengan tindakan reaktif setelah kasus pelecehan seksual terungkap, tetapi kita juga harus mendorong adanya perubahan proaktif yang mengutamakan keselamatan dan kenyamanan pasien. Edukasi yang lebih intensif bagi tenaga medis mengenai batasan-batasan etis dalam berinteraksi dengan pasien, serta pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak pasien, harus menjadi bagian dari reformasi sistem kesehatan yang lebih komprehensif.
Kasus ini, meskipun tragis, harus menjadi titik balik bagi perbaikan sistem medis kita. Kita tidak boleh membiarkan kepercayaan yang telah dihianati oleh tindakan seorang oknum dokter merusak citra profesi yang mulia ini. Sebaliknya, kita harus memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan pelayanan yang tidak hanya profesional, tetapi juga penuh dengan rasa hormat dan perlindungan terhadap martabatnya.
Jakarta, 16 April 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI