Mohon tunggu...
Stephen Sihombing
Stephen Sihombing Mohon Tunggu... Mengabdi bagi kemanusian dengan keteladanan Yesus

Meneladani jalan sunyi Yesus. Melayani tanpa sorot lampu, hadir tanpa ingin dikenal. Dalam keseharian, kasih menjadi sikap hidup, dan pengampunan sebagai bahasa yang paling manusiawi. Keteladanan bukan perkara besar, melainkan kesetiaan pada hal-hal kecil yang dilakukan dengan hati yang tak pernah letih mencintai.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Minggu Palma dan Keheningan Revolusi Kasih

13 April 2025   04:59 Diperbarui: 15 April 2025   02:50 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto dokumen pribadi 

Di antara riuhnya dunia yang terus mengukur kekuasaan dengan dentum senjata dan parade kekuatan, Minggu Palma datang dengan sunyi yang memekakkan: seorang Raja memasuki kota bukan di atas kuda perang, melainkan menunggang seekor keledai. Bukan sorak sorai kemenangan militer yang terdengar, tetapi teriakan "Hosana!" yang menggema sebagai doa dan harapan umat akan damai yang sejati. Di sinilah paradoks Injil bekerja: keagungan lahir dalam kerendahan, kemenangan diraih lewat penyerahan.

Nubuat Zakharia 9:9--10 mengantar kita pada gambaran revolusioner tentang kekuasaan: Sang Raja datang tidak dengan dominasi, tetapi dalam kerendahan yang menyelamatkan. Dalam konteks dunia pasca-pembuangan yang koyak, Zakharia menyalakan pelita harapan. Ia mengumumkan kehadiran Raja yang tidak menindas, tetapi melayani. Bukan hanya untuk Israel, tetapi bagi bangsa-bangsa. Bukan dengan ancaman, melainkan dengan damai yang menghapus busur perang.

Yesus menghidupi nubuat itu di Minggu Palma. Ia tidak memaksa masuk, tidak menebar ancaman. Ia hanya menunggu pintu hati dibuka, dan itulah revolusi paling radikal: Tuhan yang tidak memaksakan kuasa-Nya. Di sinilah kekristenan dipertaruhkan, bukan sebagai sistem keagamaan yang besar dan gemilang, tetapi sebagai jalan hidup yang memilih kelembutan di tengah dunia yang kasar, memilih mengampuni ketika dendam lebih logis, memilih setia meski realitas terasa absurd.

Bagi umat Kristiani, Minggu Palma bukan sekadar peringatan liturgis. Ini adalah ajakan untuk merevisi definisi tentang Raja, tentang kekuasaan, dan tentang hidup yang berarti. Kita tidak sedang menyambut penguasa duniawi, tetapi Raja Damai yang ingin menaklukkan hati, bukan wilayah. Ia tidak bersemayam di istana, tetapi berjalan di tengah kehidupan kita. Dia mengerti luka, menerima air mata, dan mengulurkan tangan yang penuh pengampunan.

Pertanyaannya, apakah kita sungguh menyambut Dia atau sekadar berteriak "Hosana" tanpa membuka pintu hati?

Pengakuan iman tidak selesai di altar gereja. Ia baru dimulai di sana. Komitmen sebagai murid Yesus adalah perjalanan panjang yang tidak selalu ramah, tidak selalu terang. Tapi justru di jalan itulah, kita menemukan kedalaman iman: saat kita memilih kasih, ketika membalas kejahatan dengan kebaikan, saat kita diam dalam doa walau langit terasa bisu, ketika kita tetap berjalan meski tidak tahu jawabannya.

Terlalu sering pengakuan iman berubah menjadi formalitas, bukan transformasi. Kita berseru "Ya, aku percaya," lalu kembali pada kehidupan yang tak berubah: malas, egois, dan takluk pada godaan lama. Tapi Sang Raja yang datang di atas keledai itu memanggil kita lebih dari sekadar percaya. Dia memanggil untuk setia. Dan kesetiaan itu terlihat dalam keseharian: dalam kerja yang jujur, kasih yang tulus, pelayanan yang konsisten, dan hati yang terus berharap, bahkan saat tak ada alasan untuk itu.

Minggu Palma mengingatkan: kemenangan salib dimulai dari kesediaan hati untuk tunduk pada kasih yang tidak memaksa. Dan barangkali, di dunia yang penuh kekerasan dan tipu daya, inilah revolusi sejati: kerajaan kasih yang tak terlihat, tapi nyata. Sebuah kerajaan yang terus hadir dalam hidup orang-orang yang memilih setia.

Selamat menyambut Sang Raja. Bukan di istana, tapi di relung hati yang terbuka.

(Minggu Palma, 13 April 2025)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun