Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Covid-19, Salah Kaprah Istilah "Manusiawi"

18 April 2020   17:00 Diperbarui: 18 April 2020   17:05 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah Kaprah Istilah 'Manusiawi' (dalam konteks!)

Saya dapat kiriman tulisan di bawah ini dari teman, membuatku ikut berefleksi.

Oh ya tulisan ini cukup jelas punya konteks Jakarta atau kota besar lainnya, terlebih konteks sekolah swasta yang masih hidup dari dana iuran murid sekolah.

Tapi kiranya bisa menjadi bahan permenungan dalam banyak konteks level dan bidang kehidupan yang lebih luas, khusus lagi dalam konteks situasi darurat umat manusia menghadapi dampak dahsyat covid-19 ini.
-------------------
... Urusan discount ini sesungguhnya membuat aku banyak berefleksi. Secara spontan, aku terbebani utk membantu secara tepat sasaran.

Namun seperti yang dikatakan, para ortu termasuk yg mampu berlomba-lomba mendesak agar dapat discount walau mungkin tdk membutuhkannya. Pokoknya dapat. Walau hanya Rp100.000 per bulan. Apalah artinya Rp100.000/bulan utk orang berada? Bayar iuran RT saja mungkin tdk cukup. Tampaknya manusiawi sekali menuntut discount yg sama. Dia dapat, maka saya harus dapat juga dong!

Mirip2 dgn orang yg belanja fixed price di butik2 membayar berjuta-juta tanpa ragu namun tetap suka menawar abang sayur yg jualan lewat depan rumah walau hanya sepuluh ribu perak. Aku suka mendengar orang cerita fenomena ini, dengan senyum. Lucu tapi nyata.


Kadang terasa olehku istilah manusiawi diturunkan derajatnya, di-downgrade, utk menerima mentalitas manusia yg terasa kurang tepat, utk menerima kualitas manusia yang terasa di bawah standard ...

Anyway, ini hanya refleksi pribadi. Insyaallah tdk sesat
-----------------------------------

Demikian refleksi teman ini mengajak saya dan anda berefleksi dan apa yang bisa kita lakukan konkrit sesuai kemampuan dan profesi masing2, melampaui diri sendiri?

Bila ditelisik lebih lagi dengan melihat nilai total diskon yang diusulkan, nampak menunjuk pd konteks sekolah swasta yang nilainya relatif besar bagi orang menengah ke bawah.

Selain karena fasilitas dan ongkos besar dari sebuah sekolah swasta untuk bisa eksis dan berkualitas, bisa jadi besarnya uang iuran siswa itu karena dalam rangka misi bagi pihak yang kurang sehingga ada subsidi silang yg mesti ditanggung oleh sekolah tersebut, entah kepada siswa yg ortunya kurang mampu atau bahkan subsidi ke unit sekolah lainnya yang masih dalam lingkup yayasan sekolah tersebut. Ingat banyak sekali sekolah swasta tutup operasional di kota apalagi di daerah karena tak mampu bersaing lagi dari segi pengadaan guru berkualitas, gedung, dan fasilitas pendidikan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun