Mohon tunggu...
Irul
Irul Mohon Tunggu... xxxxx

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Susi Similikiti Pudjiastuti

6 November 2014   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Susi Similikiti adalah istilah Thukul Arwana untuk menyebut nama istrinya. Saya katakan “istilah”, sebab “Similikiti” memang bukan nama istri Thukul yang sebenarnya. Ada makna tersembunyi disini. Dalam rasa bahasa Jawa, “Similikiti” merupakan gurauan yang mengandung sinisme, sebuah kata yang di-mentereng-mentereng-kan (tapi malah terasa norak) dengan maksud agar si empunya nama tidak tampak seperti orang kebanyakan.

Thukul menggunakan sinisme “Similikiti” untuk mentertawakan dirinya sendiri, sekaligus sebagai ungkapan penghormatan buat Susi, sang istri. Secara garis besar, kira-kira maksud Thukul seperti ini: “Walaupun istriku tidak cantik seperti elo-elo (para artis), tapi aku sayang dia”. Dengan kata lain, Thukul ingin menyampaikan kepada publik, bahwa walaupun istrinya termasuk “abnormal” untuk ukuran istri seorang selebriti, tapi tanpanya, Thukul yang juga bertampang “abnormal” itu, tak mungkin memiliki rejeki “normal” seperti sekarang ini. Thukul sangat menyadari, bahwa ia dan istrinya tak terpisahkan, walaupun tampang mereka berada diluar “pakem estetika” para bintang.

Bagi saya, Susi Pudjiastuti – menteri baru itu – termasuk Susi Similikiti juga. Ibu ini tergolong “abnormal” untuk ukuran seorang menteri. Ia hanya lulusan SMP, memiliki tattoo, merokok, kawin-cerai dengan bule dan konon sering tidak mengenakan bra. Suaranya yang bariton lebih mirip suara laki-laki ketimbang perempuan, mana ceplas-ceplos pula. Pembawaannya terlalu “kasar” buat seorang wanita. Terlalu maskulin.

Kriteria-kriteria yang melekat pada diri Susi Pudjiastuti diatas tentunya sangat berlawanan dengan pakem estetika para menteri yang selama ini dikenal publik. Dalam pakem estetika, yang “halus” biasanya lebih diunggulkan. Yang “halus” ditandai dengan keelokkan aristokratik: anggun, gagah, flamboyan, rapi, berpendidikan tinggi, intelek, bicara kalem dan tidak bekerja di lingkungan yang keras dan kotor. Tapi Susi?. Ketika pulang kampung ke Pengandaran kemarin, ia nongkrong di pelelangan ikan, berpeluk-pelukan dengan para bakul ikan sahabatnya, terbahak-bahak, jongkok menenggak aqua langsung dari botolnya, lantas memesan kopi pahit kesukaannya. Ia tampak berkeringat dan acak-acakan. Tak heran jika pengangkatan Susi sebagai menteri banyak mengundang kontroversi.

Lalu, apa yang membuat Jokowi memilih Susi?. Tak lain bahwa dia “gila”. “Saya butuh orang gila untuk mengatur republik ini”, kata Jokowi. Tentu Jokowi bergurau ketika mengatakan ini. Tapi juga serius. Gurau Jokowi sesungguhnya adalah sebuah pandangan yang mengandung protes terhadap aura palsu penampilan para politikus. Sebab rezim estetika, tatanan yang dibangun dengan cara mengklasifikasikan manusia berdasarkan sikap dan selera yang berkuasa sudah lewat. Sekarang waktunya fokus kerja. Sebab, setiap tatanan akan terus menerus berubah, bergeser atau bercampur. “Sudah bukan jamannya lagi pencitraan. Jaman feodalisme raja-raja Jawa sudah lewat lama”, begitu kira-kira arti kata Jokowi.

Similikiti adalah gurauan yang mengandung sinisme terhadap pencitraan. Rakyat sudah muak dengan pencitraan, suatu sikap yang di-mentereng-mentereng-kan tapi malah kelihatan norak. “Kewibawaan kok dipaksakan, lebay ah..”, demikian kata rakyat. Ke-ndeso-an Jokowi memang mengandung unsur norak juga, tapi norak yang genuine, jauh dari kemunafikan. Oleh karenanya dalam keadaan apapun Jokowi selalu lucu, begitu juga Susi Similikiti Pudjiastuti.

Kelucuan Jokowi dan Susi sesungguhnya sebuah interupsi terhadap rezim estetika.Kelucuan selalu bersifat “abnormal”, ia selalu bertentangan, maka oleh sebab itu tak bisa dijinakkan. Ada yang agresif dalam humor, ketika ada orang lain yang dijadikan sasaran untuk ditertawai. Tertawa itu menular dan menumbuhkan solidaritas, sehingga orang bisa tertawa bersama-sama. Pada diri Jokowi-lah rakyat menemukan wadahnya untuk tertawa bersama, mentertawakan “orang-orang yang diatas”. Ibarat para hamba yang mentertawai para ksatria.

Dengan paradoks itulah ke“abnormal”an Jokowi dan Susi berperan. Kelucuan mereka merupakan satire radikal dalam tatanan rezim estetika yang berlaku. Susi adalah protes yang disusupkan kedalam kabinet. Protes terhadap hal-hal yang selama ini dianggap sebagai kemapanan lahiriyah. Sama seperti Susi, kemenangan Jokowi dalam pilpres kemarin bukanlah karena ia lebih hebat ketimbang tokoh-tokoh yang lain. Tapi karena Jokowi lebih menghibur, ia wadah untuk kita bisa ketawa bersama. Mentertawakan para tokoh yang kewibawaannya dipaksakan. Panggung perhelatan wayang politik republik sudah digelar. Joko Similikiti Widodo dan Susi Similikiti Pudjiastuti telah menjadi Petruk-Petruk yang mengalahkan para dewa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun