Sebagai negara hukum, adanya supremasi hukum di Indonesia membuat hukum memiliki posisi tertinggi dalam tata aturan negara. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan seringkali dicerminkan tidak sesuai fungsinya. Dalam praktiknya banyak disalahgunakan demi kepentingan sendiri, tanpa memikirkan bagaimana hukum ini akan sangat mempengaruhi hidup orang lain yang membutuhkan keadilannya. Penerapan hukum di Indonesia belum bisa mencerminkan sila kelima pancasila yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kesetaraan di hadapan hukum yang digaungkan pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan apa yang direncanakan. Hal ini merupakan salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam ruang lingkup hukum tata negara.
Ketidakadilan tidak pernah absen terjadi dalam proses penegakan hukum. Akses terhadap keadilan di Indonesia masih sangat bergantung pada faktor sosial-ekonomi. Tidak lain dan tidak bukan karena adanya pengaruh dari aktor penegak hukum di dalamnya. Seperti kasus yang terjadi pada nenek Asyani (63 tahun) di tahun 2015. Nenek Asyani divonis bersalah karena mencuri kayu jati. Pengadilan Negeri Situbondo menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara serta denda Rp.500 juta subsider satu hari kurungan. Berbanding jauh, kasus Harvey Moeis pada tahun 2024 yang didakwa kasus korupsi perdagangan timah dengan kerugian negara mencapai Rp. 300 triliun. Meski jaksa menuntut 12 tahun, Ia hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara. Hakim meringankan vonis dari 12 tahun karena Harvey dianggap bersikap sopan selama persidangan dan memiliki tanggungan keluarga. Dua kasus ini memperlihatkan adanya ketimpangan penegakan hokum di Indonesia. Tidak sekali hukum di Indonesia tampak lebih keras kepada rakyat kecil dan toleransi yang baik diberikan kepada pihak yang memiliki uang atau koneksi yang besar.
Tak hanya itu, tantangan lain yang juga tidak bisa dihindari adalah kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme sudah mengakar dan menjadi budaya di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwasanya korupsi, kolusi dan nepotisme adalah praktik yang sangat melawan hukum dan menimbulkan banyak kerugian yang mengganggu bidang-bidang kehidupan  dalam hal ekonomi, sosial, politik dan kesejahteraan hidup masyarakat. Akses terhadap keadilan di Indonesia masih sangat bergantung pada faktor sosial-ekonomi masyarakat di dalamnya. Bisa kita amati, saat ini sering dijumpai  orang-orang yang melamar pekerjaan akan susah jika tidak memiliki koneksi di dalamnya. Website pencari pekerjaan Zippia mengungkap sekitar 85% pekerjaan didapatkan melalui koneksi. Sementara posisi atau jabatan yang didapat dari jalur koneksi jumlahnya mencapai 70%. Tak hanya dalam dunia kerja, berbagai bidang lain seperti pendidikan, sosial dan politik juga tidak semuanya bersih dari kasus-kasus nepotisme.
Tantangan-tantangan ini muncul karena rusaknya tatanan sistem hukum Indonesia yang sudah ada. Tatanan hukum Indonesia yang dibuat untuk menyejahterakan rakyatnya seketika berubah karena adanya faktor yangyang mempengaruhi bagaimana sistem hukum di Indonesia berjalan keluar jalurnya. Berawal dari ketimpangan akses karena bayaran yang perlu dikeluarkan dalam proses memperoleh keadilan, dan disfungsi institusi dalam penegakan hukum baik dalam hal administrasi dan proses hukum itu sendiri.
Dengan ditegakkannya keadilan, tantangan-tantangan tersebut diharapkan mampu diatasi agar penegakan hukum di Indonesia kembali seperti yang diharapkan, berkurangnya kesenjangan sosial yang tinggi dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Masyarakat tidak akan merasa bahwa sistem hukum hanya berlaku kepada sebagian orang dan kelompok tertentu, sehingga perbuatan melawan hukum cenderung akan berkurang. Selain berkurangnya kesenjangan sosial yang ada di masyarakat, penegakan keadilan juga diupayakan untuk mencegah terciptanya SDM yang tidak berkualitas, yaitu merosotnya moral dan etika yang baik dan bertanggung jawab dalam pribadi seseorang. Sebab apabila norma-norma hukum, mekanisme hukum, dan hakikat hukum tidak diindahkan dan dipatuhi sebagaimana mestinya, sudah dipastikan kualitas sumber daya manusia negara tersebut rusak.Â
Pada akhirnya, Indonesia bukanlah negara yang kekurangan orang-orang cerdas dan berkualitas, khususnya dalam bidang hukum. Justru di sebagian universitas di Indonesia seperti UGM, universitas Padjajaran dan universitas Diponegoro pada tahun 2022 peminat jurusan hukum minimal mencapai 1000 orang. Angka tersebut membuktikan bahwa peminat dan sarjana hukum di Indonesia tidak sedikit, namun untuk menjalankan sistem hukum yang ada dengan sebaik-baiknya masih perlu peningkatan agar terciptanya hukum yang adil. Lembaga-lembaga penegak hukum butuh sosok yang berintegritas dan tanggung jawab serta memperhatikan keadilan untuk siapa pun yang membutuhkan bantuan hukum.
ReferensiÂ