Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cara Menyikapi Hoaks Kesehatan

24 Juli 2019   17:22 Diperbarui: 25 Juli 2019   12:06 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:www.pixabay.com

Media sosial sebagai media berbasis online menjadi tempat untuk berbagi, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan sesama pengguna sebagai sarana pergaulan sosial di dunia maya. Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain, sebagai media sosial yang sering digunakan dalam menjalin komunikasi personal maupun komunitas. Kenapa orang bermedia sosial ?

Di era informasi ini, media sosial sebagai media untuk menjalin hubungan pertemanan (jejaring), aktualisasi diri, dan media promosi. Tentu setiap orang mempunyai alasan berbeda untuk memanfaatkan media sosial, namun tujuan utama sebagai media interaksi dan komunikasi secara online. Wajar bila bermunculan group yang anggotanya mempunyai kesamaan asal sekolah, angkatan, tempat tinggal, status, hobi, minat dan bakat. 

Merebaknya pemanfaatan media sosial menjadi tempat yang paling cepat, murah dan mudah, tidak saja untuk menyebarkan berita bermanfaat tetapi juga berita yang tidak benar, palsu, bohong yang sering disebut hoaks. Oleh karena itu para pemakai media sosial semestinya lebih bijaksana ketika mendapat berita yang dikirim dari teman sesama anggota group, ataupun yang sering menyebut dari lapak sebelah, tetangga sebelah. 

Artinya setiap mendapat berita apapun isinya wajib dibaca dengan seksama, hati-hati, dan dipikirkan, isi, makna kiriman beritanya. Sangat tidak bijaksana bila menerima berita dibaca sekilas langsung di sebarkan secara berantai ke semua teman, grup biar mendapat sebutan "orang pertama" yang mempunyai berita.  

Berita palsu (hoaks) tidak hanya di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, tetapi juga kesehatan. Hoaks yang cepat beredar bahkan menjadi viral seakan "membius" penerima karena menyakinkan dibanding yang sebenarnya. Apalagi penerima berita itu tanpa didasari pengetahuan karena minimnya referensi yang pernah dibaca. 

Akibatnya tanpa pikir panjang langsung disebarkan kepada orang lain. Begitu seterusnya tanpa ada upaya untuk mencari klarifikasi, apalagi menghentikan hoaks. Prinsipnya hoaks itu dapat menimbulkan kebimbangan, kekacauan, saling berprasangka buruk, sehingga dapat menimbulkan perdebatan dan perpecahan.

Apalagi hoaks bidang kesehatan, untuk menyembuhkan suatu penyakit misalnya dengan ramuan tradisional, setelah diteliti secara ilmiah sesuai kaidah ilmu kesehatan ternyata bertolak belakang. Akibatnya bukan menyembuhkan, tetapi semakin memperparah penyakitnya. Siapa yang bertanggung jawab bila sampai menimbulkan korban jiwa?

Bukan berarti dilarang memanfaatkan ramuan tradisional. Semua itu harus melalui serangkaian penelitian, dibuktikan secara ilmiah berdasarkan hasil laboratorium yang teruji kebenarannya, tentu akan mendapatkan rekomendasi dari departemen kesehatan, BPOM, MUI.   

Kembali ke masalah hoaks kesehatan, perlu mensikapi secara bijaksana dengan membaca pelan, dipahami, dan ditanyakan kebenarannya kepada pihak-pihak yang mempunyai kewenangan. Hal ini mengingat hoaks itu sering "mencatut" nama institusi, lembaga, perguruan tinggi, profesi kesehatan agar berita tentang kesehatan itu diyakini dan dibenarkan khalayak. 

Perlu mencari tahu kebenaran berita tersebut dari referensi yang telah dicantumkan dalam berita hoaks. Bila masih ragu, dapat bertanya pada pihak yang berwajib dan/atau berwenang tentang kebenaran berita itu. Biasanya telah memiliki perangkat untuk mendeteksi kebenaran berita. Artinya penerima berita kesehatan yang masuk ke media sosialnya tidak langsung copy paste, menyebarluaskan ke group WA, Instagram, Twitter.

Lebih baik tidak menjadi "peserta" menyebar hoaks, caranya "thinking before posting" (berpikir sebelum memposting. Dengan demikian secara langsung sudah memutus berita berantai yang ternyata isinya palsu. Daripada waktu dihabiskan untuk membaca berita hoaks dan menjadi "peserta penyebar hoaks" lebih baik waktunya untuk kegiatan yang lebih bermanfaat. 

Selain itu memori handphone juga cepat habis karena isinya kiriman berita hoaks dari banyak teman, grup. Sungguh membosankan bukan, ketika berita itu muncul berkali-kali dari pengirim yang berbeda, tetapi isinya sama? Pantas saja handphone sering "hang" atau "ngadat", karena sudah penuh dengan berita hoaks. Walau diakui saat ini sudah ada handphone dengan kapasitas memori yang besar, namun tetap perlu meluangkan waktu untuk menghapus berita kembar, hoaks, dan "informasi sampah".  

Selain itu cara mensikapi hoaks kesehatan dengan cara dibiarkan, langsung dihapus. Artinya berita itu hanya sampai di handphone anda, dan tidak perlu disebarkan ke pihak lain. Biar saja anda tidak mendapat sebutan orang pertama yang mendapat berita, lebih sakit mana mendapat sebutan sebagai "penyebar hoaks"?

Selain dapat terjarat pasal-pasal UU ITE, secara moral dan sosial akan dijauhi teman apalagi lawan. Mendapat cap sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, itu sakitnya ada di dada. Semua berita dari penyebar hoaks dianggap "angin lalu", walaupun ada yang benar juga, tetapi orang sudah tidak percaya lagi. Apa yang diharapkan ketika semua orang sudah tidak percaya dan menjauhi Anda?

Yogyakarta, 24 Juli 2019  Pukul 17.19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun