Orang yang berprestasi  sudah malang melintang mengikuti berbagai lomba karya tulis dan menulis di berbagai media cetak, walaupun sering dikembalikan. Semua itu dijalani dengan penuh semangat dan rasa senang, kalau menang lomba wajib disyukuri, bila kalah berarti ada peserta yang lebih baik dan layak menjadi juara.Â
Awalnya mengikuti lomba, menulis di media cetak sekedar untuk mempromosikan profesinya yang waktu itu masih dipandang "sebelah mata", bahkan sering "direndahkan", karena posisinya  masih yunior.Â
Pendapat dan usulannya dianggap angin lalu, karena senior sulit menerima perubahan dan perkembangan. Perubahan dan pembaharuan mengancam orang-orang yang tidak mau berubah dan bertahan cara-cara konvensional.Â
Akibatnya ide, inovasi terhenti di angan-angan, sambil menunggu senior pensiun. Agar ide, gagasan, pikiran yang positif tidak hilang, dituangkan dalam tulisan, apalagi sumber referensi bertebaran di sekelilingnya.
 Dari sinilah prestasi-prestasi itu diraih, mulai dari level instansi, kota/kabupaten, propinsi dan nasional. Wajar kalau dikenal banyak orang, minimal kenal nama karena pernah mendengar yang tidak asing ditelinga orang lain.
Jadi untuk berprestasi itu melalui proses panjang, tidak instan, penuh perjuangan, dan harus berjiwa "petarung" bukan "pecundang". Namun pecundang yang lebih didengarkan karena pandai membolak-balikkan kalimat, yang sejatinya penuh tipu daya.
Aneh memang orang yang berlaku jujur malah tidak mujur, sebaliknya yang penuh tipu daya dipercaya. Namun berlaku jujur tetap menjadi pilihan walaupun harus mengubur asa untuk naik ke puncak. Orang jujur "dianggap"penganggu, sehingga harus disingkirkan dari lingkungannya.Â
Sungguh memprihatinkan di lingkungan intelektual, tetapi tindakannya tidak mencerminkan sikap bijaksana, yang adil dan berwibawa. Betapa tidak orang yang berprestasi bukannya diapresiasi, mendapat "reward" , tetapi mendapat "punishment" yang "melukai" hati nuraninya.Â
Aroma "politik praktis", dalam birokrasi semakin terasa, ketika penguasa "merumahkannya" tanpa kejelasan, kepastian, dibiarkan berjuang dan menyelesaikan sendiri mengurus kariernya.
Justru sibuk mencari celah kesalahan sekecil apapun terus diburu agar mendapat hukuman disiplin. Namun semua itu tidak terjadi karena sederet prestasi yang diraihnya. Berjuang dan bekerja dalam kesunyian, kesenyapan, dan kesendirian untuk mempertahankan profesi yang dilecehkan para birokrat yang berejiwa kerdit.Â
Tidak ada yang peduli apalagi mediasi, semuanya kelu lidahnya diam seribu baca untuk mencari aman dan bertahannya kekuasaan. Namun bagi jiwa petarung, justru suasana lingkungan kerja yang tidak nyaman dan menyudutkan ini sebagai tantangan yang harus dihadapi, dan dijadikan sebagai peluang untuk menambah energi, dalam mencapai prestasi.Â