Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani, Penulis

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dia adalah Suamiku

21 November 2020   20:11 Diperbarui: 21 November 2020   20:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kita sering merasa kehidupan tidak adil. Kesulitan dan penderitaan memang dapat memunculkan kebimbangan dan keputusasaan."

(Nick Vujicic)

Kota yang dijadikan tempat gerilya PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi saksi atas lahirnya seorang bayi. Kelahirannya sempat menggemparkan warga sekitar yang tengah lelap dalam tidurnya. Dari sebuah rumah bilik bambu sayup-sayup terdengar jerit tangis bayi. Suara itu milik seorang bayi, putra keempat dari pasangan Bapak Djoyo Marto dan Ibu Yati. Mengenai tanggal, orangtuanya tidak tahu persis. Mereka hanya mencatat bahwa hari itu adalah Rabu Pahing tahun 1966.

Terlahir hanya dengan kaki kiri tanpa kedua tangan, kaki kanan hanya sebatas lutut membuat orangtuanya terpukul: sedih, tercengang, dan banyak meneteskan air mata. Dalam kesedihan itu meski sebagai seorang Muslim mereka mempertanyakan mengapa Tuhan memberi seorang bayi dengan keadaan cacat. 

Kehamilan sebelumnya baik-baik saja. Ketiga anaknya atau kakak-kakak bayi itu normal, tidak ada yang kurang sedikit pun. Ibu bayi itu pun menyalahkan suaminya meski yang disalahkan juga tidak tahu harus berkata apa. Mak Raji yang membantu proses melahirkan juga sangat terkejut. Ini adalah pengalaman pertamanya selama membantu proses persalinan.

Mak Yat, sapaan ibu bayi cacat itu, tidak dapat menerima kehadiran bayi yang dikandungnya. Hatinya hancur. Jangankan memberi ASI (Air Susu Ibu), melihat pun tidak sanggup. Selama tiga bulan Mak Yat hanya menangis, sementara bayi cacat itu diurus oleh Mak Raji.

Bapak dari bayi itu berusaha meyakinkan istrinya untuk tetap bersabar dan merawat bayi mereka. Tidak ada yang salah dalam proses kehamilan.

 Ada sebagian yang berpendapat bahwa kecacatan ada kaitannya dengan Perang Dunia II. Saat itu, Amerika Serikat meluncurkan bom di dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Namun, hingga hari ini, tidak ada penelitian relevan yang mengatakan bahwa bahan kimia yang meledak di negeri orang bisa berpengaruh pada kehamilan di negeri lain.

Kelahiran bayi cacat ini terdengar ke mana-mana, termasuk Dinas Sosial. Ketika Dinas Sosial ingin membawa bayi itu, ibunya tersadar bahwa anaknya adalah titipan Ilahi yang harus dijaga dan diperjuangkan. Warga Dusun Sidorejo, Desa Sidomulyo yang sebagian besar beragama Islam juga berusaha menerima kehadiran bayi cacat di lingkungannya. 

Sebagai warga desa yang terkenal dengan sikap bergotong royong, mereka mewujudkan dengan membantu sebisanya. Berbagai makanan dan pakaian mereka salurkan. Mereka tahu bahwa ayah si bayi hanya seorang buruh biasa. Dengan kehadiran anak keempat tentu perekonomian mereka akan menjadi semakin sulit.

Sekarang, bayi cacat itu adalah suamiku, dengan perjalanan panjang  sejak kecil hingga sekarang, telah banyak penolakan dan hinaan yang diterima. Namun berkat kegigihannya menjalani hidup, pada usia remaja berhasil dirangkul oleh sebuah yayasan lukis di Swiss. Dengan menjadi pelukis mulut dan kaki kehidupannya mengalami perubahan. Terutama setelah menikah dan memiliki anak, satu putri dan putra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun