Ribuan tenaga honorer di Indonesia tengah menghadapi kenyataan pahit. Setelah bertahun-tahun mengabdi, ada yang 10 tahun, 15 tahun, bahkan lebih dari 20 tahun. Harapan untuk menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dulu begitu dekat, kini terasa menjauh karena hasil tes CAT yang tidak cukup tinggi. Banyak dari mereka memperoleh nilai 300 sampai 400, namun tetap dinyatakan gugur karena passing grade yang tinggi dan persaingan yang semakin ketat. Padahal mereka bukan orang baru dalam sistem, bukan pelamar dari luar, melainkan bagian dari tubuh birokrasi itu sendiri yang selama ini diam-diam menopang pelayanan publik.
Yang lebih menyedihkan, mereka harus bersaing dengan peserta yang jauh lebih muda, yang baru mengabdi tiga atau empat tahun, atau bahkan baru lulus kuliah. Usia para honorer senior umumnya sudah 35 tahun ke atas, bahkan banyak yang menjelang 50 tahun. Mereka tak lagi secepat dulu dalam membaca soal, menghafal teori, atau mengoperasikan komputer, apalagi bila terbiasa bekerja lapangan dan minim akses pelatihan. Di sisi lain, peserta muda datang dengan semangat tinggi, kemampuan digital yang lebih mumpuni, dan kesiapan teknis menghadapi ujian. Hasilnya bisa ditebak yakni yang muda lulus tes, yang senior tersingkir disebabkan bukan karena tak layak, tapi karena sistem tidak memberi ruang untuk menghargai pengalaman.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar yaitu di manakah letak keadilan? Negara seolah hanya menilai seseorang layak atau tidaknya menjadi ASN dari angka di layar komputer, tanpa menengok bertahun-tahun masa kerja dan loyalitas yang telah diberikan. Apakah mereka yang telah mengabdi dalam keterbatasan, dengan gaji rendah kisaran Rp.500.000-1.500.000.- dan status tidak tetap, tidak pantas mendapat tempat dalam sistem hanya karena nilai tes kurang beberapa poin? Jika ukuran kemampuan hanya ditentukan oleh selembar ujian, maka pengabdian puluhan tahun itu menjadi sia-sia.
Inilah saatnya pemerintah melakukan koreksi kebijakan. Reformasi birokrasi berbasis meritokrasi memang penting, tetapi harus disertai keadilan sosial. Negara perlu memberi penghargaan bagi honorer yang telah terbukti mengabdi selama bertahun-tahun. Mereka tidak hanya layak diberi kesempatan, tetapi seharusnya diutamakan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah memberikan nilai tambah dalam seleksi berdasarkan masa kerja, agar mereka yang sudah lama bekerja punya keunggulan tersendiri. Selain itu, bisa juga dibuka jalur seleksi khusus bagi honorer senior, dengan mekanisme penilaian yang mempertimbangkan pengalaman, kontribusi, dan rekomendasi dari instansi tempat mereka bekerja.
Pemerintah juga perlu menyediakan pelatihan intensif secara gratis untuk mempersiapkan honorer menghadapi ujian, karena tak semua honorer memiliki akses terhadap bimbingan belajar atau pelatihan daring. Bahkan jika perlu, masa transisi penghapusan tenaga honorer yang direncanakan berakhir pada 2025 harus diperpanjang, agar solusi yang lebih manusiawi dan adil dapat dirancang dengan matang. Sebab kalau tidak, kita sedang menciptakan generasi ASN yang tak memiliki rasa hormat terhadap sejarah pengabdian, hanya karena sistemnya tidak memberi ruang untuk itu.
Honorer senior adalah wajah nyata dari dedikasi yang tulus. Mereka telah bekerja dalam sunyi, mendidik anak-anak bangsa, melayani masyarakat di puskesmas, membantu urusan administrasi pemerintahan, dan menjalankan roda pelayanan tanpa pamrih. Mereka bukan sekadar angka dalam sistem kepegawaian. Mereka adalah pilar-pilar kecil yang menyusun bangunan besar birokrasi negeri ini. Jika negara ingin dihormati oleh rakyatnya, maka negara juga harus menghormati mereka yang telah lama setia mengabdi. Jangan biarkan mereka pensiun dalam ketidakadilan. Pengabdian mereka seharusnya tidak gugur hanya karena nilai di layar CAT tidak cukup tinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI