Debat antar calon presiden (Capres) beberapa waktu lalu menyuguhkan pertarungan wacana mengenai swasembada, peningkatan produksi pertanian, dan upaya mengurangi ketergantungan pada impor pangan. Gagasan demi gagasan dilontarkan. Tapi sepertinya ada yang lupa didiskusikan di sana, yakni petani sebagai satuan produksi terkecil dari ketahanan pangan kita. Utamanya adalah soal kesejahteraan petani.
Kementerian Pertanian (Kementan) boleh saja menyajikan sederetan angka-angka yang menunjukkan peningkatan produksi pertanian kita. Mulai dari padi, jagung, kedelai, dan lain sebagainya. Kementan juga boleh membeberkan upaya mereka memberikan insentif serta bantuan pada petani. Mulai dari subsidi pupuk, benih, hingga asuransi.
Tapi ada satu aspek yang sepertinya belum tersentuh, yakni pemberdayaan petani menjual hasil produksinya. Karena bila dibiarkan tak berdaya, mereka hanya mampu merasakan sedikit dari jerih payahnya. Bagian terbesar dari industri pertanian kita, tidak dinikmati oleh petani. Melainkan digerus oleh pemodal, pedagang, dan siapa pun yang terlibat di dalam rangkaian tata niaga tani kita. Petani sendiri, tidak bisa menentukan harga jual di pasaran.
Oleh karena itu, tak salah rupanya bila kita tidak hanya terpaku pada produksi atau pertanian yang berorientasi pada konsumen saja. Perlu ada mekanisme sendiri yang membuat petani berdaya menentukan harga. Sehingga itu bisa menjadi insentif dirinya sendiri dan memacu mereka untuk meningkatkan produksi. Dampak akhir yang diharapkan adalah tercapainya kecukupan pangan. Karena petani kita memang giat berproduksi.
Sejauh ini, konsep harga kita kenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang berlaku untuk gabah. Namun konsep ini ditengarai belum mampu membuat petani pangan sejahtera karena Bulog tidak mampu menyerap seluruh gabah petani. Akibatnya petani harus menjual produk ke pasar dengan harga rendah.
Kementan sebagai leading sector di bidang ini harusnya juga fokus pada pemberdayaan lembaga petani dan penerapan informasi pemasaran produk pertanian yang andal. Konsep pemberdayaan petani selama ini fokus pada aspek produksi yang akhirnya mengkerdilkan fungsi kelembagaan pertanian. Akibatnya, fungsi kelompok tani saat ini hanya sebagai fasilitator distribusi pupuk bersubsidi. Padahal kelompok tani sangat potensial untuk menjadi lembaga pengolahan dan pemasaran hasil ataupun bermitra dengan lembaga sejenis.
Kegiatan pendampingan yang selama ini dilakukan, harus diperluas pada pengolahan produk, administrasi usaha, kewirausahaan kelompok, perizinan dan kemitraan usaha serta negosiasi pasar. Jenis kegiatan seperti inilah yang membuat petani mampu menghadapi pelaku pasar yang lain sehingga memperoleh harga yang layak. Sehingga pada akhirnya, harga yang layak bisa membuat petani lebih sejahtera.